Jumat, 08 Februari 2013

PEMERIKSAAN RADIOLOGI RADIOISOTOP


PEMERIKSAAN RADIOLOGI
RADIOISOTOP


Pengertian Radioisotop
Radioisotop adalah isiotop dari zat radioaktif, dibuat dengan menggunakan reaksi inti dengan netron. Isotop suatu unsur baik yang stabil maupun radioaktif memiliki sifat kimia yang sama. Radioisotop dapat digunakan sebagai perunut (untuk mengikuti unsur dalam suatu proses yang menyangkut senyawa atau sekelompok senyawa) dan sebagai sumber radiasi /sumber sinar.
Pengunaan radioisotop sebagai perunut didasarkan pada ikatan bahwa isotop radioaktif mempunyai sifat kimia yang sama dengan isotop stabil. Radoisotop ditambahkan ke dalam suatu sistem untuk mempelajari sistem itu, baik sistem fisika, kimia maupun sistem biologi. Oleh karena radioisotop mempunyai sifat kimia yang sama seperti isotop stabilnya, maka radioisotop dapat digunakan untuk menandai suatu senyawa sehingga perpindahan perubahan senyawa itu dapat dipantau.
Sedangkan penggunaan radioisotop sebagai sumber radiasi didasarkan pada kenyataan bahwa radiasi yang dihasilkan zat radioaktif dapat mempengaruhi materi maupun mahluk. Radiasi dapat digunakan untuk memberi efek fisis: efek kimia, maupun efek biologi.
Radionuklida atau radioisotop adalah isotop dari zat radioaktif. radionuklida mampu memancarkan radiasi. Radionuklida dapat terjadi secara alamiah atau sengaja dibuat oleh manusia dalam reaktor penelitian. Produksi radionuklida dengan proses aktivasi dilakukan dengan cara menembaki isotop stabil dengan neutron di dalam teras reaktor. Proses ini lazim disebut irradiasi neutron, sedangkan bahan yang disinari disebut target atau sasaran. Neutron yang ditembakkan akan masuk ke dalam inti atom target sehingga jumlah neutron dalam inti target tersebut bertambah. Peristiwa ini dapat mengakibatkan ketidakstabilan inti atom sehingga berubah sifat menjadi radioaktif.
Banyak isotop buatan yang dapat dimanfaatkan antara lain Na-24, P-32, Cr-51, Tc-99, dan I-131.
Radio-isotop adalah bidang kedokteran memanfaatkan materi radioaktif untuk menegakkan diagnosa, terapi dan mempelajari penyakit manusia. Henry N Wagner Jr, radio-isotop nuklir sebagai segi tiga dengan sisi-sisi: radio farmaka, instrumen, biomedik dan penderita di tengah-tengah. Atom terdiri inti, neutron dan proton yang dikelilingi lintasan elektron K, L, H, O dan Q.
Dalam keadaan stabil, energi ikatan inti atom berada dalam tingkat tertentu. Keadaan tidak stabil, energi ikatan inti atom berubah sehingga inti atom akan berusaha untuk mencapai tingkat keseimbangan yang baru dengan memecahkan diri (inti atom menjadi 2 atau lebih, lebih kecil) atau mengeluarkan energi tertentu. Keadaan inti atom ini disebut radioaktif dan perubahan sebagai peluruhan. Pada waktu meluruh terjadi radiasi partikel (radiasi elektromagnetik).
Sinar partikel adalah sinar a (inti helium = 2 He) dan sinar b (elektron = e) sedangkan gelombang elektromagnetik sebagai sinar g.
Di Indonesia, sinar b dari isotop I131 untuk terapi hypertroidisme dan Ca thyroid; sinar g I131 mempunyai daya tembus besar untuk scanning kelenjar thyroid dan grafik renogram.


Radio-isotop sebagai pencitraan diagnostik
Radio-isotop memberikan data pencitraan (imaging) organ merupakan pemeriksaan in vivo oleh karena menjadikan organ tubuh sebagai sumber radiasi. Peta energi sumber radiasi dapat diamati untuk menentukan besar, bentuk dan letak organ serta kelainannya. Radio-farmaka yang tidak diberikan penderita untuk menghitung konsentrasi hormon atau obat dalam darah. Dengan mengambil sample plasma penderita dan direaksikan dengan radioaktif yang ditetapkan baik reaksi kompetitif maupun reaksi immunology menghasilkan ketepatan baik, misalnya Reaksi Radio Immuno Assay (RIA) untuk menghitung hormon T3 dan T4.
Abad 20 ditandai dengan perkembangan yang menakjubkan di bidang ilmu dan pengetahuan (iptek), termasuk iptek kedokteran dan kesehatan, sehingga memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam diagnosis dan terapi berbagai penyakit.
Penggunaan isotop radioaktif dalam bidang kedokteran telah dimulai tahun 1901 oleh Henri Danlos yang menggunakan Radium untuk pengobatan penyakit Tuberculosis pada kulit. Tetapi yang dianggap Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir adalah George C de Havessy. Dialah yang meletakkan dasar prinsip perunut dengan menggunakan zat radioaktif. Waktu itu yang digunakan adalah radioisotop alam Pb212. Dengan ditemukannya radioisotop buatan, maka radioisotop alam tidak lagi digunakan.
Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal perkembangan kedokteran nuklir adalah I131. Pemakaiannya kini telah terdesak oleh Tc99m, selain karena sifatnya yang ideal dari segi proteksi radiasi dan pembentukan citra juga dapat diperoleh dengan mudah, serta harga relatif murah. Namun demikian, I131 masih sangat diperlukan untuk diagnostik dan terapi, khususnya kanker kelenjar tiroid.
Perkembangan ilmu kedokteran nuklir yang sangat pesat didukung oleh perkembangan teknologi instrumentasi untuk pembuatan citra terutama dengan digunakannya komputer untuk pengolahan data sehingga sistem intrumentasi yang dahulu hanya menggunakan detektor radiasi biasa dengan sistem elektronik sederhana, kini telah berkembang menjadi peralatan canggih kamera gamma dan kamera positron yang dapat menampilkan citra alat tubuh, baik dua dimensi maupun tiga dimensi, serta statik maupun dinamik. Berbagai disiplin ilmu kedokteran seperti penyakit dalam, ilmu penyakit syaraf, ilmu penyakit jantung, dan sebagainya telah mengambil manfaat dari teknik nuklir ini.
Kedokteran Nuklir
Merupakan cabang ilmu kedokteran yang menggunakan sumber radiasi terbuka berasal dari disintegrasi inti radionuklida buatan, untuk mempelajari perubahan fisiologi, anatomi dan biokimia, sehingga dapat digunakan untuk tujuan diagnostik, terapi dan penelitian kedokteran.
Radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien (studi in-vivo) maupun hanya direaksikan saja dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung, urine, dan sebagainya, yang diambil dari tubuh pasien, yang lebih dikenal sebagai studi in-vitro (dalam gelas percobaan).
Pada studi in-vivo, setelah radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien melalui mulut, suntikan, atau dihirup lewat hidung, maka informasi yang dapat diperoleh dari pasien dapat berupa:
1. Citra atau gambar dari organ/bagian tubuh pasien yang diperoleh dengan bantuan peralatan kamera gamma ataupun kamera positron (teknik imaging).
2. Kurva-kurva kinetika radioisotop dalam organ/bagian tubuh tertentu dan angka-angka yang menggambarkan akumulasi radioisotop dalam organ/bagian tubuh tertentu disamping citra atau gambar yang diperoleh dengan kamera gamma ataupun kamera positron
3. Radioaktivitas yang terdapat dalam contoh bahan biologis )darah, urine, dll) yang diambil dari tubuh pasien, dicacah dengan instrumen yang dirangkaikan pada detektor radiasi (teknik non-imaging).
Data yang diperoleh baik dengan teknik imaging maupun teknik non-imaging memberikan informasi mengenai fungsi organ yang diperiksa. Pencitraan (imaging) pada kedokteran nuklir dalam beberapa hal berbeda dengan pencitraan dalam radiologi (lihat tabel dibawah).
KEDOKTERAN NUKLIR RADIOLOGI
Sumber Radiasi Zat radioaktif yang terbuka Pesawat pembangkit radiasi
Pembentukan Citra Emisi radiasi, perbedaan akumulasi radioisotop dalam berbagai bagian tubuh Transmisi radiasi; pembedaan daya tembus radiasi terhadap berbagai bagian tubuh
Informasi yang diberikan Terutama fungsional Terutama anatomis-morfologis
Pada studi in-vitro. dari tubuh pasien diambil sejumlah tertentu bahan biologis misalnya 1 ml darah. Cuplikan bahan biologis tersebut kemudian direaksikan dengan suatu zat yang telah ditandai dengan radioisotop. Pemeriksaannya dilakukan dengan bantuan detektor radiasi gamma yang dirangkai dengan suatu sistem instrumentasi. Studi semacam ini biasanya dilakukan untuk mengetahui kandungan hormon-hormon tertentu dalam darah pasien seperti insulin, tiroksin, dan lain-lain.
Pemeriksaan kedokteran nuklir banyak membantu dalam menunjang diagnosis berbagai penyakit seperti penyakit jantung koroner, kelenjar gondok, gangguan fungsi ginjal, menentukan tahapan penyakit kanker dengan mendeteksi penyebarannya pada tulang, mendeteksi pendarahan pada saluran penceraan makanan dan menentukan lokasinya, serta masih banyak lagi yang dapat diperoleh dari diagnosis dengan penerapan teknologi nuklir yang sangat pesat perkembangannya.
Disamping membantu penetapan diagnosis, teknologi nukilr juga berperan dalam terapi penyakit-penyakit tertentu, misalnya kanker kelenjar gondok, hiperfungsi kelenjar gondok yang membandel terhadap pemberian obat-obatan non radiasi, keganasan sel darah merah, inflamasi (peradangan) sendi yang sulit dikendalikan dengan menggunakan terapi obat-obatan biasa. Untuk keperluan diagnosis, radioisotop diberikan dalam dosis yang sangat kecil, tapi dalam terapi radioisotop sengaja diberikan dosis yang besar terutama dalam pengobatan terhadap janringan kanker dengan tujuan untuk melenyapkan sel-sel yang menyusun janringan kanker itu.
Di Indonesia, kedokteran nuklir diperkenalkan pada akhir tahun 1960an, yaitu setelah reaktor atom Indonesia yang pertama di Bandung mulai dioperasikan. Beberapa tenaga ahli Indonesia dibantu oleh tenaga ahli dari luar negeri merintis pendirian suatu unit kedokteran nuklir di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknik Nuklir di Bandung. Unit ini merupakan cikal bakal Unit Kedokteran Nuklir RSU Hasan Sadikin, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Menyusul kemudian unit-unit berikutnya di Jakarta (RSCM, RS Pusat Pertamina, RS Gatot Subroto) dan di Surabaya (RS Soetomo). Pada tahun 1980an didirikan unit-unit kedokteran nuklir berikutnya di RS Sardjito Yogyakarta, RS Karyadi Semarang, RS Jantung Harapan Kita Jakarta, dan RS Fatmawati Jakarta. Saat ini di Indonesia terdapat 15 rumah sakit yang melakukan pelayanan kedokteran nuklir dengan menggunakan kamera gamma, disamping masih terdapat 2 rumah sakit lagi yang hanya mengoperasikan alat penatah ginjal yang dikenal dengan nama Renograf.
Pemanfaatan Teknik RADIOISOTOP
1. Teknik Pengaktifan Neutron
Teknik ini dapat digunakan untuk menentukan kandungan mineral tubuh terutama untuk unsur-unsur yang terdapat dalam tubuh dengan jumlah yang sangat kecil (Co, Cr, F, Mn, Se, Si, V, Zn, dll) sehingga sulit ditentukan dengan metoda konvensional. Kelebihan teknik ini terletak pada sifatnya yang tidak merusak dan kepekaan yang sangat tinggi
2. Penentuan Kerapatan Tulang Dengan Bone Densitometer
Pengukuran kerapatan tulang dilakukan dengan cara menyinari tulang dengan radiasi gamma atau sinar-X. Berdasarkan banyaknya radiasi gamma atau sinar-X yang diserap tulang yang diperiksa maka dapat ditentukan konsentrasi mineral kalsium dalam tulang. Perhitungan dilakukan oleh komputer yang dipasang pada alat bone densitometer tersebut. Teknik ini bermanfaat sebagai alat bantu diagnosis kekeroposan tulang (osteoporosis) yang sering menyerang wanita pada usia menupause (mati haid) sehingga menyebabkan tulang mudah patah.
3. Three Dimensional Conformal Radiotherapy (3D-CRT)
Terapi radiasi dengan menggunakan sumber radiasi tertutup atau pesawat pembangkit radiasi sudah lama dikenal untuk pengobatan penyakit kanker. Perkembangan teknik elektronika maju dan peralatan komputer canggih dalam dua dekade, telah membawa perkembangan pesat dalam teknologi radioterapi. Dengan menggunakan pesawat pemercepat partikel generasi terakhir telah dimungkinkan untuk melakukan radioterapi kanker dengan sangat presisi dan tingkat keselamatan yang tinggi melalui kemampuannya yang sangat selektif untuk membatasi bentuk jaringan tumor yang akan dikenai radiasi, memformulasikan serta memberikan paparan radiasi dengan dosis yang tepat pada target. Dengan memanfaatkan teknologi 3D-CRT ini sejak tahun 1985 telah berkembang metode pembedahan dengan radiasi pengion sebagai pisau bedahnya (gamma knife). Kasus-kasus tumor ganas yang sulit dijangkau dengan pisau bedah konvensional menjadi dapat diatasi dengan teknik ini, bahkan tanpa perlu membuka kulit pasien dan tanpa merusak jaringan di luar target.





DAFTAR PUSTAKA

http://astaqauliyah.com/2005/05/nuklir-di-bidang-kesehatan-dan-kedokteran/
http://id.wikipedia.org/wiki/Radioisotop




KATETERISASI SISTEM UROGENITAL


KATETERISASI SISTEM UROGENITAL

Pengertian
Tindakan kateterisasi urine merupakan tindakan  invasif dan dapat menimbulkan rasa nyeri, sehingga jika dikerjakan dengan cara yang keliru akan menimbulkan kerusakan uretra yang permanen (Kozier, Erb, dan Oliveri 1991, Basuki, B.Purnomo,2003).
Kateterisasi urine adalah tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine. Kateterisasi dapat menyebabkan hal - hal yang mengganggu kesehatan sehingga hanya dilakukan bila benar - benar diperlukan serta harus dilakukan dengan hati – hati ( Brockop dan Marrie, 1999 ).
Kateterisasi merupakan suatu tindakan untuk mengalirkan urin melalui selang kateter yang dimasukkan melalui uretra untuk mengatasi retensi urin dan menghindari komplikasi.
Kateterisasi urine adalah memasukkan selang karet atau plastik melalui uretra kedalam kandung kemih
Kateterisasi urinari adalah tindakan penggunaan selang catether pada saluran eliminasi urin seseorang dengan melakukan tindakan secara aseptik yang ketat dan hanya dilakukan jika sangat diperlukan. Penggunaan kateter urinari biasanya dilakukan dengan menggunakan kateter yang dimasukkan melalui urethra ke dalam kandung kemih. Jika kateter telah dipasang, maka sistem ini harus benar-benar tertutup. Kateter ini dialiri hanya jika sangat perlu untuk mempertahankan patensinya.

Jenis pemasangan Kateter
Menurut ( Brockop dan Marrie, 1999 ) Jenis – jenis pemasangan kateter urine terdiri dari :
ü  Indewelling catheteter yang biasa disebut juga dengan retensi kateter / folley cateter – indewelling catheter dibuat sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kandung kemih.
ü   Intermitten catheter yang digunakan untuk jangka waktu yang pendek ( 5-10 menit ) dan klien dapat diajarkan untuk memasang dan melepas sendiri.
ü  Suprapubik catheter kadang - kadang digunakan untuk pemakaian secara permanent. Cara memasukan kateter dengan jenis ini dengan membuat sayatan kecil diatas suprapubik
Saat ini ukuran kateter yang biasanya dipergunakan adalah ukuran dengan kalibrasi French ( FR ) atau disebut juga Charriere ( CH ). Ukuran tersebut didasarkan atas ukuran diameter lingkaran kateter tersebut misalkan 18 FR atau CH 18 mempunyai diameter 6 mm dengan patokan setiap ukuran 1 FR = CH 1 berdiameter 0,33 mm. Diameter yang diukur adalah diameter pemukaan luar kateter. Besar kecilnya diameter kateter yang digunakan ditentukan oleh tujuan pemasangan kateter urine tersebut untuk klien dewasa,ukuran kateter urine yang biasa digunakan adalah 16-19 FR. Kateter yang mempunyai ukuran yang sama belum tentu mempunyai diameter lumen yang sama karena perbedaan bahan dan jumlah lumen pada kateter tersebut.
Bahan kateter dapat berasal dari logam ( Stainlles ), karet ( Latteks ), latteks dengan lapiasan silicon ( Siliconized ). Perbedaan bahan kateter menentukan biokompabiliti kateter didalam buli-buli sehingga akan mempengaruhi daya tahan kateter yang terpasang di buli - buli.
Ruang lingkup
1.      Semua penderita yang datang dengan keluhan berupa tidak bisa kencing.
2.      Dalam kaitan penegakan diagnosis dan pengobatan, diperlukan disiplin ilmu yang terkait yaitu Radiologi.

Indikasi penggunaan kateter:
1.      Untuk menyembuhkan retensi urin
2.      Mengurangi tekanan pada kandung kemih
3.      Memudahkan pengobatan dengan operasi
4.      Mempercepat pemulihan jaringan setelah operasi
5.      Memasukkan obat ke dalam kandung kemih
6.      Mengukur outpit urin secara tepat
7.      Mengukur output residual
8.      Memvisualisasikan struktur anatomi secara radiografis
Menurut ( Brockop dan Marrie, 1999 ) pemasangan kateter urine dapat dilakukan untuk diagnosis maupun sebagai terapi. Indikasi pemasangan kateter urine untuk diagnosis adalah  sebagai berikut :
ü  Untuk mengambil sample urine guna pemeriksaan kultur mikrobiologi dengan menghindari kontaminasi.
ü  Pengukuran residual urine dengan cara, melakukan regular kateterisasi pada klien segera setelah mengakhiri miksinya dan kemudian diukur jumlah urine yang keluar.
ü  Untuk pemeriksaan cystografi, kontras dimasukan dalam kandung kemih melalui   kateter.
ü  Untuk pemeriksaan urodinamik yaitu cystometri dan uretral profil pressure.





Indikasi Pemasangan Kateter urine sebagai Terapi adalah :
ü  Dipakai dalam beberapa operasi traktus urinarius bagian bawah seperti secsio alta, repair reflek vesico urethal, prostatatoktomi sebagai drainage kandung kemih.
ü   Mengatasi obstruksi infra vesikal seperti pada BPH, adanya bekuan darah dalam buli-buli, striktur pasca bedah dan proses inflamasi pada urethra.
ü  Penanganan incontinensia urine dengan intermitten self catheterization.
ü  Pada tindakan kateterisasi bersih mandiri berkala ( KBMB ).
ü  Memasukan obat-obat intravesika antara lain sitostatika / antipiretika untuk buli  - buli.
ü  Sebagai splint setelah operasi rekontruksi urethra untuk tujuan stabilisasi urethra,

Indikasi operasi
- Retensio urin
- Sebagai bagian dari persiapan pra operasi

Kontra indikasi operasi:
Ruptur urethra

Prosedur kateterisasi

·         Tujuan

1.      Menghilangkan distensi kandung kemih

2.      Mendapatkan spesimen urine

3.      Mengkaji jumlah residu urine, jika kandung kemih tidak mampu sepenuhnya dikosongkan


·         Persiapan
a. Persiapan pasien
1.      Mengucapkan salam terapeutik
2.      Memperkenalkan diri
3.      Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan tindakan yang akan dilaksanakan.
4.      Penjelasan yang disampaikan dimengerti klien/keluarganya
5.      Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas, sistematis serta tidak mengancam.
6.      Klien/keluarga diberi kesempatan bertanya untuk klarifikasi
7.      Privasi klien selama komunikasi dihargai.
8.      Memperlihatkan kesabaran , penuh empati, sopan, dan perhatian serta respek selama berkomunikasi dan melakukan tindakan
9.      Membuat kontrak (waktu, tempat dan tindakan yang akan dilakukan)

b.Persiapan alat
1.      Bak instrumen berisi
ü  Poly kateter sesuai ukuran 1 buah (klien dewasa yang pertama kali dipasang kateter biasanya dipakai no. 16)
ü  Urine bag steril 1 buah
ü  Pinset anatomi 2 buah
ü  Duk steril
ü  Kassa steril yang diberi jelly
2.      Sarung tangan steril
3.      Kapas sublimat dalam kom tertutup
4.      Perlak dan pengalasnya 1 buah
5.      Sampiran
6.      Cairan aquades atau Nacl
7.      Plester
8.      Gunting verband
9.      Bengkok 1 buah
10.  Korentang pada tempatnya

1.      kateterisasi-priaKateterisasi pada pria




·         Prosedur
1.      Pasien diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan, kemudian alat-alat didekatkan ke klien
2.      Pasang sampiran
3.      Cuci tangan
4.      Pasang pengalas/perlak dibawah bokong klien
5.      Pakaian bagian bawah klien dikeataskan/dilepas, dengan posisi klien terlentang. Kaki sedikit dibuka. Bengkok diletakkan didekat bokong klien.
6.      Buka bak instrumen, pakai sarung tangan steril, pasang duk steril, lalu bersihkan alat genitalia dengan kapas sublimat dengan menggunakan pinset.
7.      Bersihkan genitalia dengan cara : Penis dipegang dengan tangan non dominan penis dibersihkan dengan menggunakan kapas sublimat oleh tangan dominan dengan gerakan memutar dari meatus keluar. Tindakan bisa dilakukan beberapa kali hingga bersih. Letakkan pinset dalam bengkok
8.      Ambil kateter kemudian olesi dengan jelly. Masukkan kateter kedalam uretra kira-kira 10 cm secara perlahan-lahan dengan menggunakan pinset sampai urine keluar. Masukkan cairan Nacl/aquades 20-30 cc atau sesuai ukuran yang tertulis. Tarik sedikit kateter. Apabila pada saat ditarik kateter terasa tertahan berarti kateter sudah masuk pada kandung kemih
9.      Lepaskan duk, sambungkan kateter dengan urine bag. Lalu ikat disisi tempat tidur
10.  Fiksasi kateter
11.  Lepaskan sarung tangan
12.  Klien dirapikan kembali
13.  Alat dirapikan kembali
15.  Melaksanakan dokumentasi :
ü  Catat tindakan yang dilakukan dan hasil serta respon klien pada lembar catatan klien
ü  Catat tanggal dan jam melakukan tindakan dan nama perawat yang melakukan dan tanda tangan/paraf pada lembar catatan klien






2.      Kateterisasi pada wanita
kateterisasi-wanita

·         Prosedur

1.      Klien diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan, kemudian alat-alat didekatkan ke pasien
2.      Pasang sampiran
3.      Cuci tangan
4.      Pasang pengalas/perlak dibawah bokong klien
5.      Pakaian bagian bawah klien dikeataskan/dilepas, dengan posisi klien lithotomi (kaki ditekuk dan Kaki sedikit dibuka). Bengkok diletakkan didekat bokong klien
6.      Buka bak instrumen, pakai sarung tangan steril, pasang duk steril, lalu bersihkan alat genitalia dengan kapas sublimat dengan menggunakan pinset.
7.      Bersihkan genitalia dengan cara : dengan tangan nondominan perawat membuka vulva kemudian tangan kanan memegang pinset dan mengambil satu buah kapas sublimat. Selanjutnya bersihkan labia mayora dari atas kebawah dimulai dari sebelah kiri lalu kanan, kapas dibuang dalam bengkok, kemudian bersihkan labia minora, klitoris, dan anus. Letakkan pinset pada bengkok.
8.      Ambil kateter kemudian olesi dengan jelly. Masukkan kateter kedalam uretra kira-kira 10 cm secara perlahan-lahan dengan menggunakan pinset sampai urine keluar. Masukkan Cairan Nacl/aquades 20-30 cc atau sesuai ukuran yang tertulis di kateter. Tarik sedikit kateter. Apabila pada saat ditarik kateter terasa tertahan berarti kateter sudah masuk pada kandung kemih
9.      Lepaskan duk, sambungkan kateter dengan urine bag. Lalu ikat disisi tempat tidur
10.  Fiksasi kateter pada bagian sisi dalam paha klien
11.  Klien dirapikan kembali
12.  Alat dirapikan kembali
13.  Mencuci tangan
14.  Melaksanakan dokumentasi :
ü  Catat tindakan yang dilakukan dan hasil serta respon klien pada lembar catatan klien
ü  Catat tanggal dan jam melakukan tindakan dan nama perawat yang melakukan dan tanda tangan/paraf pada lembar catatan klien

Diagnosis Banding
- Retensio urin
- Tumor suprapubic
- Uterus pada kehamilan

Pemeriksaan Penunjang
Foto polos abdomen.

Tehnik Operasi
Secara singkat tehnik dari kateterisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Posisi terlentang
2.      Desinfeksi lapangan tindakan dengan larutan antiseptik.
3.      Lapangan tindakan dipersempit dengan linen steril.
4.      Anestesi topikal pada penderita yang peka dengan jelly xylocaine 2-4% yang dimasukkan dengan spuit 20cc.
5.      Kateter yang diolesi jelly steril dimasukkan ke dalam urethra. Pada penderita pria, kateter dimasukkan dengan halus sampai urin mengalir (selalu dicatat jumlah dan warna urin), kemudian balon dikembangkan sebesar 5-10 ml.
6.      Bila diputuskan untuk menetap, kateter dihubungkan dengan kantong penampung steril dan dipertahankan sebagai sistem tertutup.
7.      Kateter difiksasi dengan plester pada kulit paha proksimal atat di daerah inguinal dan diusahakan agar penis mengarah ke lateral, hal ini untuk mencegah nekrosis akinat tekanan pada bagian ventral urethra di daerah penoskrotal

Komplikasi operasi
Komplikasi pasca bedah ialah urethritis, ruptur urehtra dan striktur urethra.

Penggunaan kateter intermiten merupakan alternatif dibanding penggunaan kateter dalam waktu lama pada beberapa pasien. Ini meliputi masing-masing petugas perawat untuk memasukkan kateter dengan teknik aseptik atau pasien sendiri yang memasukkan kateter dengan menggunakan teknik pembersihan setiap 4-6 jam sesuai keperluan. Jika terjadi trauma pada sistem urinari, maka penggunaan kateter akan sangat penting hingga menghilangkan oedem kateterisasi intermiten membantu bagi pasien dengan neurogenik bladder yang harus diajarkan untuk memasang kateter sendiri.
Perawat membantu pasien mengenali tempat urethra. Pasien tidak perlu menggunakan sarung tangan tetapi harus menggunakan peralatan yang telah dibersihkan menggunakan sabun dan air. Perawat mengajarkan kepada pasien bagaimana memasukkan kateter. Urin dialirkan kemudian kateter diambil kembali, kemudian peralatan ini dicuci dan disimpan. Pasien kemungkinan perlu memasangnya kembali setiap 4-6 jam atau jika ia merasa ingin membuang urin. Perawat dapat juga mengajarkan pada pasien bagaimana cara meraba kandung kemih yang sudah penuh.
Nyeri merupakan keluhan utama yang sering dialami oleh pasien dengan kateterisasi urine karena tindakan memasukkan selang kateter dalam kandung kemih mempunyai resiko terjadinya infeksi atau trauma pada uretra. Resiko trauma berupa iritasi pada dinding uretra lebih sering terjadi pada pria karena keadaan uretranya yang lebih panjang daripada wanita dan membran mukosa yang melapisi dinding uretra memang sangat mudah rusak oleh pergesekan akibat dimasukkannya selang kateter juga lumen uretra yang lebih panjang (Wolff, Weitzel, dan Fuerst, 1984).
Bahwa cara memasukkan jelly langsung kedalam uretra dapat mempengaruhi kecepatan pemasangan kateter sehingga mengurangi tingkat iritasi pada dinding uretra akibat pergesekan dengan kateter bila dibandingkan dengan cara pelumasan dengan melumuri jelly pada ujung kateter (Ferdinan, Tuti Pahria; 2003). Iritasi jaringan atau nekrosis dapat juga diakibatkan oleh pemakaian kateter yang ukurannya tidak sesuai besarnya orifisium uretra, kurangnya pemakaian jelly, penekanan yang berlebihan, misalnya memfiksasi terlalu erat dan penggunaan kateter intermiten yang terlalu sering dapat merusak jaringan kulit.
Dampak nyeri sebagai akibat spasme otot spingter karena kateterisasi akan terjadi perdarahan dan kerusakan uretra yang dapat menyebabkan striktur uretra yang bersifat permanen hal ini akan memperberat penyakit serta memperpanjang hari perawatan pasien. Bila hal tersebut tidak segera mendapat perhatian, maka kejadian berbagai komplikasi dengan mekanisme yang belum diketahui  berpeluang sangat besar.
Dalam pelaksanaan tindakan kateterisasi urin, perawat biasanya melakukan pemilihan ukuran dengan cermat, sesuai dengan besar kecilnya diameter meatus urinarius. Meatus urinarius ini merupakan bagian yang paling luar dari uretra, yang paling tidak mengambarkan besar kecilnya lumen uretra. Selain itu untuk mengurangi pergesekan pada dinding uretra yang nantinya akan menyebabkan iritasi, perawat juga biasanya melumuri ujung kateter sepanjang 15-18 cm dengan cairan kental berbentuk gel yang biasa disebut jelly. Penggunaan jelly dimaksudkan untuk mencegah spasme otot meatus uretra eksterna sehingga dapat mengurangi iritasi pada dinding uretra. Teknik pemberian  jelly sendiri dapat memperbaiki kualitas pelumasan  dengan demikian sensasi nyeri yang timbul karena iritasi juga dapat dikurangi (Malcolm R. Colmer, 1986).
Setiap prosedur pemasangan kateter harus diperhatikan prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu; pemasangan kateter dilakukan secara aseptik dengan melakukan disinfeksi secukupnya memakai bahan yang tidak menimbulkan iritasi pada kulit genitalia dan jika perlu diberikan antibiotik seperlunya, diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien. Kateter menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai dilakukan tindakan definitif terhadap penyebab retensi urin, perlu diingat makin lama kateter dipasang makin besar kemungkinan terjadi penyulit berupa infeksi atau cedera uretra ( Basuki, B Purnomo,2003 ).

Mortalitas
Kurang dari 1%

Perawatan Pasca Kateterisasi
1.      Minum banyak untuk menjamin diuresis
2.      Membersihkan ujung urethra dari sekret dan darah yang mengering agar pengaliran sekrit urethra tetap terjamin
3.      Mengusahakan kantong penampung urin tidak melampaui ketinggian buli-buli agar urin tidak mengalir kembali kedalamnya.
Follow-up
Mengganti kateter nelaton tiap 2 atau kateter silikon tiap 6-8 minggu minggu bila memang masih diperlukan, untuk mencegah pembentukan batu.

 

Perawatan kateter urine selama terpasang kateter
Perawatan kateter urine sangat pentung dilakukan pada klien dengan tujuan untuk mengurangi dampak negatif dari pemasangan kateterisasi urine seperti infeksi dan radang pada saluran kemih, dampak lain yang mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar manusia perawatan yang dilakukan meliputi : menjaga kebersihan kateter dan alat vital kelamin, menjaga kantong penampumg urine dengan tidak meletakan lebih tinggi dari buli-buli dan tidak agar tidak terjadi aliran balik urine ke buli-buli dan tidak sering menimbulkan saluran penampung karena mempermudah masuknya kuman serta mengganti kateter dalam jangka waktu 7-12 hari.
Semakin jarang kateter diganti, resiko infeksi makin tinggi, penggantian kateter urine tergantung dari bahan kateter urine tersebut sebagai contoh kateter urine dengan bahan latteks silicon paling lama dipakai 10 hari,sedang bahan silicon dapat dipakai selama 12 hari. Pada tahap pengangkatan kateterisasi urine perlu diperhatikan agar balon kateter urine telah kempis. Selain itu menganjurkan klien menarik nafas untuk mengurangi ketegangan otot sekitar saluran kemih sehingga kateterisasi urine dapat diangkat tanpa menyebabkan trauma berlebihan


DAFTAR PUSTAKA

Reeves, Charlene J. 2001. “Keperawatan Medikal Bedah”. Jakarta: EGC