Senin, 11 Februari 2013

Askep Gangguan Sistem Perkemihan Acute Renal Failure (ARF)


ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN
ACUTE RENAL FAILURE(ARF)


A. KONSEP MEDIS
1.Pengertian

Acute Renal Failure (ARF) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik Gagal ginjal akut (acute renal failure,
ARF) merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasanya hitungan dalam beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang berkembang cepat. Laju filtrasi glomerolus (LFG) yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/ dl/ hari dan kadar nitrogen urea darah sebanyak 10 mg/ dl/ hari dalam beberapa hari (Medicastore, 2008).

Gagal ginjal akut adalah penurunan tiba-tiba faal ginjal pada individu dengan ginjal sehat sebelumnya, dengan atau tanpa oliguria dan berakibat azotemia progresif disertai kenaikan ureum dan kreatinin darah. Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinis yang di tandai dengan penurunan mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) laju filtrasi glomerulus (LFG), di sertai akumulasi nitrogen sisa metabolisme (ureum dan kreatinin).

Gagal Ginjal Akut adalah kemunduran yang cepat dari kemampuan ginjal dalam membersihkan darah dari bahan-bahan racun, yang menyebabkan penimbunan limbah metabolik di dalam darah (misalnya urea).
Gagal ginjal atau Acute renal failure (ARF) dapat diartikan sebagai penurunan cepat/tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal. Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau azotemia (peningkatan konsentrasi BUN [Blood Urea Nitrogen] ). Akan tetapi biasanya segera setelah cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin.
Angka kematian di AS akibat gagal ginjal akut berkisar antara 20-90%. Kematian di dalam RS 40-50% dan di ICU sebesar 70-89%. Kenaikan 0,3 mg/dL kreatinin serum merupakan prognostik penting yang signifikan.
Peningkatan kadar kreatinin juga bisa disebabkan oleh obat-obatan (misalnya cimetidin dan trimehoprim) yang menghambat sekresi tubular ginjal. Peningkatan tingkat BUN juga dapat terjadi tanpa disertai kerusakan ginjal, seperti pada perdarahan mukosa atau saluran pencernaan, penggunaan steroid, pemasukan protein. Oleh karena itu diperlukan pengkajian yang hati-hati dalam menentukan apakah seseorang terkena kerusakan ginjal atau tidak
2.Anatomi.
 Ginjal berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada tiap ginjal. Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter,kandung kencing, kemudian ke luar melalui Uretra.

  Fisiologi
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak (sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah ”menyaring/membersihkan” darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam Tubulus sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.
 Fungsi :
1.      Bertugas sebagai sistem filter/saringan, membuang ”sampah”.
2.      Menjaga keseimbangan cairan tubuh.
3.      Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah.
4.      Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah merah.
5.      Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang.
3.Etiologi

Tiga kategori utama kondisi penyebab gagal ginjal akut adalah:
a. Kondisi prerenal (hipoperfusi ginjal)
Kondisi prerenal adalah masalah aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan turunnya laju filtrasi glomerulus. Kondisi klinis yang umum adalah status penipisan volume (hemoragi atau kehilangan cairan melalui saluran gastrointestinal), vasodilatasi (sepsis atau anafilaksis), dan gangguan fungsi jantung (infark miokardium, gagal jantung kongestif, atau syok kardiogenik)
b. Penyebab intrarenal (kerusakan actual jaringan ginjal)
Penyebab intrarenal gagal ginjal akut adalah akibat dari kerusakan struktur glomerulus atau tubulus ginjal. Kondisi seperti rasa terbakar, cedera akibat benturan, dan infeksi serta agen nefrotoksik dapat menyebabkan nekrosis tubulus akut (ATN) dan berhentinya fungsi renal. Cedera akibat terbakar dan benturan menyebabkan pembebasan hemoglobin dan mioglobin (protein yang dilepaskan dari otot ketika cedera), sehingga terjadi toksik renal, iskemik atau keduanya. Reaksi tranfusi yang parah juga menyebabkan gagal intrarenal, hemoglobin dilepaskan melalui mekanisme hemolisis melewati membran glomerulus dan terkonsentrasi di tubulus ginjal menjadi faktor pencetus terbentuknya hemoglobin. Penyebab lain adalah pemakaian obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), terutama pada pasien lansia. Medikasi ini mengganggu prostaglandin yang secara normal melindungi aliran darah renal, menyebabkan iskemia ginjal.
c. Pasca renal
Pascarenal yang biasanya menyebabkan gagal ginjal akut biasanya akibat dari obstruksi di bagian distal ginjal. Tekanan di tubulus ginjal meningkat, akhirnya laju filtrasi glomerulus meningkat.
Meskipun patogenesis pasti dari gagal ginjal akut dan oligoria belum diketahui, namun terdapat masalah mendasar yang menjadi penyebab. Beberapa factor mungkin reversible jika diidentifikasi dan ditangani secara tepat sebelum fungsi ginjal terganggu. Beberapa kondisi yang menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi ginjal: (1) hipovolemia; (2) hipotensi; (3) penurunan curah jantung dan gagal jantung kongestif; (4) obstruksi ginjal atau traktus urinarius bawah akibat tumor, bekuan darah, atau batu ginjal dan (5) obstrusi vena atau arteri bilateral ginjal.
( Sarwono, 2001).

Kegagalan Prarenal: Pengurangan aliran darah ginjal adalah yang paling biasa
menyebabkan ARF. Aliran darah ginjal berkurangan dan oleh itu ARF prarenal,
boleh berlaku dalam mana-mana keadaan berikut:
a. Hipovolemia (sebagaimana yang berlaku dalam gastroenteritis. Luka terbakar, dan dalam pendarahan),
b. Kegagalan Kardiovaskular (sebagaimana dalam kegagalan jantung kongestif, infarksi miokardium akut, dan dalam embolisme pulmonari),
c. Renjatan septikaemik
d. Penyempitan anteriolar ginjal (disebabkan oleh pembedahan, anestesia, sindrom hepatorenal, dan perencat prostaglandin).
Kegagalan postrenal: Ini berlaku kira-kira dalam 10% semua kes ARF, dan boleh disebabkan oleh:
a. Struktur ureteral
b. Penyumbatan leher pundi-pundi (sebagaimana yang dilihat dalam pembesaran prostatik, dan dengan penggunaan pengubatan antikolinergik)
c. Penyumbatan ureterik bilateral (disebabkan oleh abtu, bekuan darah, atau fibrosis retroperitoneum), atau
d. Penyumbatan intrarenal (disebabkan oleh asid oksalik, asid urik, atau sulfonamida)
Penyakit ginjal intrinsik: Pertempatan patologi anatomik primer mungkin sama
ada dalam:
a. Glomeruli (sebagaimana dalam glomerulonefritis akut)
b. Vaskulatur ginjal (misalnya trombosis, embolisme, aneurisme, vaskulitis, sindrom uremia hemolisis, dan pembekuan intravaskular 22 tersebar).
c. Interstitum ginjal (sebagaimana dalam nefritis intersititial akut)
d. Tubuh ginjal (sebagaimana dalam nekrosis tubul akut)
(Shaukat, 2009).

3. Tahapan
Terdapat empat tahapan klinik dari gagal ginjal akut; periode awal, periode oliguria, periode diuresis dan periode perbaikan.
Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria. Periode oliguria (volume urin kurang dari 400 ml/24 jam) disertai peningkatan konsentrasi serum dari substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat dan kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urin minimal yang diperlukan untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Pada tahap ini gejala uremik untuk pertamakalinya muncul, dan kondisi yang mengancam jiwa seperti hiperkalemia terjadi.
Pada banyak pasien hal ini dapat merupakan penurunan fungsi ginjal disertai kenaikan retensi nitrogen namun pasien masih mengekskresaikan urin sebanyak 2 liter atau lebih setiap hari. Hal ini merupakan bentuk nonoligurik dari gagal ginjal dan terjadi terutama setelah antibiotic nefrotoksik diberikan kepada pasien, dapat juga terjadi pada kopndisi terbakar, cedera traumtaik dan penggunaan anestesi halogen.
Pada tahap ketiga, periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urin secara bertahap, disertai tanda perbaikan glomerulus. Nilai laboratorium berhenti meningkat dan akhirnya menurun. Meskipun haluran urin mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap normal. Tanda uremik mungkin masih ada, sehingga penatalaksanaan medis dan keperawatan masih diperlukan.
Periode penyembuhan merupakan tanda perbaikanfungsi ginjal dan berlangsung selama 3 sampai 12 bulan. Nilai laboratorium akan kembali normal. Meskipun terdapat reduksi laju filtrasi glomerulus permanent sekitar 1% samapi 3%, tetapi hal ini secar klinis tidak signifikan.
(Medicastore, 2008).


 4.Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala terjadinya gagal ginjal yang dialami penderita secara akut antara lain :
a. Bengkak mata, kaki
b. Nyeri pinggang hebat (kolik)
c. kencing sakit, sedikit kadang timbul merah/darah bahkan sering kencing
d. Demam
e. Kelainan Urin: Protein, Darah / Eritrosit, Sel Darah Putih / Lekosit, Bakteri.
f. Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki
g. Perubahan mental atau suasana hati
h. Kejang
i. Tremor tangan
j. Mual, muntah

5. Patofisiologi

Beberapa kondisi berikut yang menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi ginjal : hipovelemia, hipotensi, penurunan curah jantung dan gagal jantung kongestif, obstruksi ginjal atau traktus urinarius bawah akibat tumor, bekuan darah atau ginjal, obstruksi vena atau arteri bilateral ginjal. Jika kondisi itu ditangani dan diperbaiki sebelum ginjal rusak secara permanen, peningkatan BUN, oliguria dan tanda-tanda lain yang berhubungan dengan gagal ginjal akut dapat ditangani.
Terdapat 4 tahapan klinik dari gagal ginjal akut yaitu :
Stadium awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
Stadium Oliguria. Volume urine 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak.
Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar dalam diit. Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan kecuali bila penderita mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung atau dehidrasi. Pada stadium ini pula mengalami gelala nokturia (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala timbul sebagai respon terhadap stress dan perubahan makanan dan minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala ini.
Gejala pengeluaran kemih waktu malam hari yang menetap sampai sebanyak 700 ml atau penderita terbangun untuk berkemih beberapa kalipada waktu malam hari. Dalam keadaan normal perbandingan jumlah kemih siang hari dan malam hari adalah 3 : 1 atau 4 : 1. Sudah tentu nokturia kadang-kadang terjadi juga sebagai respon teehadap kege;isahan atau minum yang berlebihan.Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutamam menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5%-25 %. Faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gelala-gejala kekurangan farahm tekanan darah akan naik, terjadi kelebihan, aktifitas penderita mulai terganggu.
Stadium III.
Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat melakukan tugas sehari-hari sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain mual, muntah, nafsu makan berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90 % dari masa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml/menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatnin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita merasakan gejala yang cukup parah karene ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik memepengaruhi setip sisitem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

6.Komplikasi :
- Infeksi : pneumonia, septikemia, infeksi nosokomial.
- Gangguan elektrolit : uremia, hiperkalemia, hiponatremia, asidosis metabolik.
- Neurologi : kejang uremik, flap, tremor, koma, iritabilitas neuromuskular, gangguan kesadaran.
- Gastrointestinal : nausea, muntah, gastritis, ulkus peptikum, perdarahan GIT.
- Hematologi : hipertensi, anemia, diatesishemoragik.
- Jantung : Payah jantung, edema paru, aritmia, efusi perikardium.
( Sarwono, 2001).



7.TES DIAGNOSTIK
 a.  Urine : Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein.
b.  Darah : BUN/kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah, Natrium serum, Kalium, Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas serum.
c.  KUB Foto : Menunjukkan ukuran ginjal/ureter/kandung kemih dan adanya obstruksi .
d.  Pielografi retrograd : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.
e.  Arteriogram ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstraskular, massa.
f.   Sistouretrogram berkemih : Menunjukkan ukuran kandung kemih,refluks ureter,retensi
g.  Ultrasono ginjal : Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
h.  Biopsi ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menetukan sel jaringan untuk diagnosis histologis
i.   Endoskopi ginjal nefroskopi : Dilakukan untuk menemukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
j.   EKG : Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda-tanda perikarditis.



8.Penatalaksanaan
1.  Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaiki abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan perdarahan ; dan membantu penyembuhan luka.
2.   Penanganan hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
3.  Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan.







B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

 1.  PENGKAJIAN
1.  Data Dasar pengkajian Pasien
a.  Aktivitas /Istirahat : Apakah ada gejala keletihan,kelemahan
b.  Sirkulasi : Apakah ada hipotensi edema jaringan umum, pucat
c.  Eliminasi : Perubahan pola berkemih, disuria , retensi abdomen kembung
d.  Makanan/cairan : Peningkatan berat badan (Oedem), penurunan berat badan, mual ,muntah, anoreksia. Nyeri ulu hati
e.  Neurosensori : Sakit kepala, kram otot/kejang
f.   Pernapasan : Dispnea, takipnea, peningkatan frekuensi dan kedalaman pernapasan, bau ammonia, batuk produktif.
g.  Keamanan : demam, petekie,pruritus, kulit kering

 2. Diagnosa keperawatan
 Diagnosa Keperawatan pasien dengan gagal ginjal akut (ARF)
 1. Peningkatan volume cairan tubuh bd penurunan fungsi ginjal
 a. Kaji keadaan udema
Rasional :
Edema menunjukan perpindahan cairan krena peningkatan permebilitas sehingga mudah ditensi oleh akumulasi cxairan walaupun minimal, sehingga berat badan dapat meningkat 4,5 kg
 b.  Kontrol intake danout put per 24 jam.
Rasional :
Untuk mengetahui fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan kelebihan resiko cairan.
c.  Timbang berat badan tiap hari
Rasional : 
Penimbangan berat badan setiap hari membantu menentukan keseimbangan dan masukan cairan yang tepat.
A.  Penimbangan
B.  Lebih dari 0.5 kg/hari dapat menunjukan perpindahan kesimbangan cairan
 d.  Beritahu keluarga agar klien dapat membatasi minum
Rasional :
Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari semua sember ditambah perkiraan yang tidak nampak. Pasien dengan kelebihan cairan yang tidak responsif terhadap pembatasan caiaran dan diuretic membutuhkan dialysis.
 e.  Penatalaksanaan pemberian obat anti diuretik.
Rasional :
Obat anti diuretic dat melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan hiperkalemia dan meningkatkan volume urine adekuat. Misalnya : Furosemide.
 f.   Kolaborasi pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal.
Rasional :
Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana terjadi kegagalan ginjal.
 2.  Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, vomitus, nausea.
 a.  Observasi status klien dan keefektifan diet.
Rasional :
Membantu dalam mengidentifikasi dan kebutuhan diet, kondisi fisik umum, gejala uremik dan pembatasan diet mempengaruhi asupan makanan.
 b.  Berikan dorongan hygiene oral yang baik sebelum dan setelah makan.
Rasional :
Higiene oral yang tepat mencegah bau mulut dan rasa tidak enak akibat mikroorganisme, membantu mencegah stomatitis.
 c.  Berikan makanan TKRGR
Rasional :
Lemak dan protein tidak digunakan sebagai sumber protein utama, sehingga tidak terjadi penumpukan yang bersifat asam, serta diet rendah garam memungkinkan retensi air kedalam intra vaskuler.
 d.  Berikan makanan dalam porsi kecil tetapi sering.
Rasional :
Meminimalkan anoreksia, mual sehubungan dengan status uremik.
 e.  Kolaborasi pemberian obat anti emetic.
Rasional :
Antiemetik dapat menghilangkan mual dan muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.
3.  Aktivity intolerans b/d kelemahan.
Intervensi:
a.  Kaji kebutuhan pasien dalam beraktifitas dan penuhi kebutuhan ADL
Rasional :
Memberi panduan dalam penentuan pemberian bantuan dalam pemenuhan ADL.
 b.  Kaji tingkat kelelahan.
Rasional :
Menentukan derajat dan efek ketidakmampun.
 c.  Identifikasi factor stess/psikologis yang dapat memperberat.
Rasional :
Mempunyai efek akumulasi (sepanjang factor psykologis) yang dapat diturunkan bila ada masalah dan takut untuk diketahui.
 d.  Ciptakan lingkungan tengan dan periode istirahat tanpa gangguan.
Rasional :
Menghemat energi untuk aktifitas perawatan diri yang diperlukan.
 e.  Bantu aktifitas perawatan diri yang diperlukan.
Rasional :
Memungkinkan berlanjutnya aktifitas yang dibutuhkan memberika rasa aman bagi klien.
 f.   Kolaborasi pemeriksaan laboratorium darah.
Rasional :
Ketidak seimbangan Ca, Mg, K, dan Na, dapat menggangu fungsi neuromuscular yang memerlukan peningkatan penggunaan energi Ht dan Hb yang menurun adalah menunjukan salah satu indikasi teerjadinya gangguan eritopoetin.
 4.  Kecemasan B/D ketidak tahuan proses penyakit.
Intervensi :
a.  Kaji tingkat kecenmasan klien.
Rasional :
Menentukan derajat efek dan kecemasan.
 b.  Berikan penjelasan yang akurat tentang penyakit.
Rasional :
Klien dapat belajar tentang penyakitnya serta penanganannya, dalam rangka memahami dan menerima diagnosis serta konsekuensi mediknya.
 c.  Bantu klien untuk mengidentifikasi cara memahami berbagai perubahan akibat penyakitnya.
Rasional :
Klien dapat memahami bahwa kehidupannya tidak harus mengalami perubahan berarti akibat penyakit yang diderita.
 d.  Biarkan klien dan keluarga mengekspresikan perasaan mereka.
 Rasional :
Mengurangi beban pikiran sehingga dapat menurunkan rasa cemas dan dapat membina kbersamaan sehingga perawat lebih mudah untuk melaksanakan intervensi berikutnya.
 e.  Memanfaatkan waktu kunjangan yang fleksibel, yang memungkinkan kehadiran kelurga.
Rasional : Mengurangi tingkat kecemasan dengan menghadirkandukungan keluarga.

3. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan realisasi dari intervensi yang ada
4. EVALUASI
- peningkatan volume cairan dapat teratasi
- gangguan kebutuhan nutrisi teratasi
- intoleran aktivitas dapat teratasi
- Kecemasan pasien dapat teratasi






DAFTAR PUSTAKA

1.Anderton,J.L,dkk. 1992. Nefrologi.Jakarta:Hipokrates
Price,SA.1995. Patofisiologi. Jakarta: EGC
2. Lynda Juall carpernito, Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2, EGC, Jakarta, 1999.
3. Sylvia Anderson Price, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa Adji Dharma, Edisi II.
4. Price, S. A. & Wilson, L. M. (1995) Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi   1V. Jakarta: EGC.

Jumat, 08 Februari 2013

PEMERIKSAAN RADIOLOGI RADIOISOTOP


PEMERIKSAAN RADIOLOGI
RADIOISOTOP


Pengertian Radioisotop
Radioisotop adalah isiotop dari zat radioaktif, dibuat dengan menggunakan reaksi inti dengan netron. Isotop suatu unsur baik yang stabil maupun radioaktif memiliki sifat kimia yang sama. Radioisotop dapat digunakan sebagai perunut (untuk mengikuti unsur dalam suatu proses yang menyangkut senyawa atau sekelompok senyawa) dan sebagai sumber radiasi /sumber sinar.
Pengunaan radioisotop sebagai perunut didasarkan pada ikatan bahwa isotop radioaktif mempunyai sifat kimia yang sama dengan isotop stabil. Radoisotop ditambahkan ke dalam suatu sistem untuk mempelajari sistem itu, baik sistem fisika, kimia maupun sistem biologi. Oleh karena radioisotop mempunyai sifat kimia yang sama seperti isotop stabilnya, maka radioisotop dapat digunakan untuk menandai suatu senyawa sehingga perpindahan perubahan senyawa itu dapat dipantau.
Sedangkan penggunaan radioisotop sebagai sumber radiasi didasarkan pada kenyataan bahwa radiasi yang dihasilkan zat radioaktif dapat mempengaruhi materi maupun mahluk. Radiasi dapat digunakan untuk memberi efek fisis: efek kimia, maupun efek biologi.
Radionuklida atau radioisotop adalah isotop dari zat radioaktif. radionuklida mampu memancarkan radiasi. Radionuklida dapat terjadi secara alamiah atau sengaja dibuat oleh manusia dalam reaktor penelitian. Produksi radionuklida dengan proses aktivasi dilakukan dengan cara menembaki isotop stabil dengan neutron di dalam teras reaktor. Proses ini lazim disebut irradiasi neutron, sedangkan bahan yang disinari disebut target atau sasaran. Neutron yang ditembakkan akan masuk ke dalam inti atom target sehingga jumlah neutron dalam inti target tersebut bertambah. Peristiwa ini dapat mengakibatkan ketidakstabilan inti atom sehingga berubah sifat menjadi radioaktif.
Banyak isotop buatan yang dapat dimanfaatkan antara lain Na-24, P-32, Cr-51, Tc-99, dan I-131.
Radio-isotop adalah bidang kedokteran memanfaatkan materi radioaktif untuk menegakkan diagnosa, terapi dan mempelajari penyakit manusia. Henry N Wagner Jr, radio-isotop nuklir sebagai segi tiga dengan sisi-sisi: radio farmaka, instrumen, biomedik dan penderita di tengah-tengah. Atom terdiri inti, neutron dan proton yang dikelilingi lintasan elektron K, L, H, O dan Q.
Dalam keadaan stabil, energi ikatan inti atom berada dalam tingkat tertentu. Keadaan tidak stabil, energi ikatan inti atom berubah sehingga inti atom akan berusaha untuk mencapai tingkat keseimbangan yang baru dengan memecahkan diri (inti atom menjadi 2 atau lebih, lebih kecil) atau mengeluarkan energi tertentu. Keadaan inti atom ini disebut radioaktif dan perubahan sebagai peluruhan. Pada waktu meluruh terjadi radiasi partikel (radiasi elektromagnetik).
Sinar partikel adalah sinar a (inti helium = 2 He) dan sinar b (elektron = e) sedangkan gelombang elektromagnetik sebagai sinar g.
Di Indonesia, sinar b dari isotop I131 untuk terapi hypertroidisme dan Ca thyroid; sinar g I131 mempunyai daya tembus besar untuk scanning kelenjar thyroid dan grafik renogram.


Radio-isotop sebagai pencitraan diagnostik
Radio-isotop memberikan data pencitraan (imaging) organ merupakan pemeriksaan in vivo oleh karena menjadikan organ tubuh sebagai sumber radiasi. Peta energi sumber radiasi dapat diamati untuk menentukan besar, bentuk dan letak organ serta kelainannya. Radio-farmaka yang tidak diberikan penderita untuk menghitung konsentrasi hormon atau obat dalam darah. Dengan mengambil sample plasma penderita dan direaksikan dengan radioaktif yang ditetapkan baik reaksi kompetitif maupun reaksi immunology menghasilkan ketepatan baik, misalnya Reaksi Radio Immuno Assay (RIA) untuk menghitung hormon T3 dan T4.
Abad 20 ditandai dengan perkembangan yang menakjubkan di bidang ilmu dan pengetahuan (iptek), termasuk iptek kedokteran dan kesehatan, sehingga memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam diagnosis dan terapi berbagai penyakit.
Penggunaan isotop radioaktif dalam bidang kedokteran telah dimulai tahun 1901 oleh Henri Danlos yang menggunakan Radium untuk pengobatan penyakit Tuberculosis pada kulit. Tetapi yang dianggap Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir adalah George C de Havessy. Dialah yang meletakkan dasar prinsip perunut dengan menggunakan zat radioaktif. Waktu itu yang digunakan adalah radioisotop alam Pb212. Dengan ditemukannya radioisotop buatan, maka radioisotop alam tidak lagi digunakan.
Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal perkembangan kedokteran nuklir adalah I131. Pemakaiannya kini telah terdesak oleh Tc99m, selain karena sifatnya yang ideal dari segi proteksi radiasi dan pembentukan citra juga dapat diperoleh dengan mudah, serta harga relatif murah. Namun demikian, I131 masih sangat diperlukan untuk diagnostik dan terapi, khususnya kanker kelenjar tiroid.
Perkembangan ilmu kedokteran nuklir yang sangat pesat didukung oleh perkembangan teknologi instrumentasi untuk pembuatan citra terutama dengan digunakannya komputer untuk pengolahan data sehingga sistem intrumentasi yang dahulu hanya menggunakan detektor radiasi biasa dengan sistem elektronik sederhana, kini telah berkembang menjadi peralatan canggih kamera gamma dan kamera positron yang dapat menampilkan citra alat tubuh, baik dua dimensi maupun tiga dimensi, serta statik maupun dinamik. Berbagai disiplin ilmu kedokteran seperti penyakit dalam, ilmu penyakit syaraf, ilmu penyakit jantung, dan sebagainya telah mengambil manfaat dari teknik nuklir ini.
Kedokteran Nuklir
Merupakan cabang ilmu kedokteran yang menggunakan sumber radiasi terbuka berasal dari disintegrasi inti radionuklida buatan, untuk mempelajari perubahan fisiologi, anatomi dan biokimia, sehingga dapat digunakan untuk tujuan diagnostik, terapi dan penelitian kedokteran.
Radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien (studi in-vivo) maupun hanya direaksikan saja dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung, urine, dan sebagainya, yang diambil dari tubuh pasien, yang lebih dikenal sebagai studi in-vitro (dalam gelas percobaan).
Pada studi in-vivo, setelah radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien melalui mulut, suntikan, atau dihirup lewat hidung, maka informasi yang dapat diperoleh dari pasien dapat berupa:
1. Citra atau gambar dari organ/bagian tubuh pasien yang diperoleh dengan bantuan peralatan kamera gamma ataupun kamera positron (teknik imaging).
2. Kurva-kurva kinetika radioisotop dalam organ/bagian tubuh tertentu dan angka-angka yang menggambarkan akumulasi radioisotop dalam organ/bagian tubuh tertentu disamping citra atau gambar yang diperoleh dengan kamera gamma ataupun kamera positron
3. Radioaktivitas yang terdapat dalam contoh bahan biologis )darah, urine, dll) yang diambil dari tubuh pasien, dicacah dengan instrumen yang dirangkaikan pada detektor radiasi (teknik non-imaging).
Data yang diperoleh baik dengan teknik imaging maupun teknik non-imaging memberikan informasi mengenai fungsi organ yang diperiksa. Pencitraan (imaging) pada kedokteran nuklir dalam beberapa hal berbeda dengan pencitraan dalam radiologi (lihat tabel dibawah).
KEDOKTERAN NUKLIR RADIOLOGI
Sumber Radiasi Zat radioaktif yang terbuka Pesawat pembangkit radiasi
Pembentukan Citra Emisi radiasi, perbedaan akumulasi radioisotop dalam berbagai bagian tubuh Transmisi radiasi; pembedaan daya tembus radiasi terhadap berbagai bagian tubuh
Informasi yang diberikan Terutama fungsional Terutama anatomis-morfologis
Pada studi in-vitro. dari tubuh pasien diambil sejumlah tertentu bahan biologis misalnya 1 ml darah. Cuplikan bahan biologis tersebut kemudian direaksikan dengan suatu zat yang telah ditandai dengan radioisotop. Pemeriksaannya dilakukan dengan bantuan detektor radiasi gamma yang dirangkai dengan suatu sistem instrumentasi. Studi semacam ini biasanya dilakukan untuk mengetahui kandungan hormon-hormon tertentu dalam darah pasien seperti insulin, tiroksin, dan lain-lain.
Pemeriksaan kedokteran nuklir banyak membantu dalam menunjang diagnosis berbagai penyakit seperti penyakit jantung koroner, kelenjar gondok, gangguan fungsi ginjal, menentukan tahapan penyakit kanker dengan mendeteksi penyebarannya pada tulang, mendeteksi pendarahan pada saluran penceraan makanan dan menentukan lokasinya, serta masih banyak lagi yang dapat diperoleh dari diagnosis dengan penerapan teknologi nuklir yang sangat pesat perkembangannya.
Disamping membantu penetapan diagnosis, teknologi nukilr juga berperan dalam terapi penyakit-penyakit tertentu, misalnya kanker kelenjar gondok, hiperfungsi kelenjar gondok yang membandel terhadap pemberian obat-obatan non radiasi, keganasan sel darah merah, inflamasi (peradangan) sendi yang sulit dikendalikan dengan menggunakan terapi obat-obatan biasa. Untuk keperluan diagnosis, radioisotop diberikan dalam dosis yang sangat kecil, tapi dalam terapi radioisotop sengaja diberikan dosis yang besar terutama dalam pengobatan terhadap janringan kanker dengan tujuan untuk melenyapkan sel-sel yang menyusun janringan kanker itu.
Di Indonesia, kedokteran nuklir diperkenalkan pada akhir tahun 1960an, yaitu setelah reaktor atom Indonesia yang pertama di Bandung mulai dioperasikan. Beberapa tenaga ahli Indonesia dibantu oleh tenaga ahli dari luar negeri merintis pendirian suatu unit kedokteran nuklir di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknik Nuklir di Bandung. Unit ini merupakan cikal bakal Unit Kedokteran Nuklir RSU Hasan Sadikin, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Menyusul kemudian unit-unit berikutnya di Jakarta (RSCM, RS Pusat Pertamina, RS Gatot Subroto) dan di Surabaya (RS Soetomo). Pada tahun 1980an didirikan unit-unit kedokteran nuklir berikutnya di RS Sardjito Yogyakarta, RS Karyadi Semarang, RS Jantung Harapan Kita Jakarta, dan RS Fatmawati Jakarta. Saat ini di Indonesia terdapat 15 rumah sakit yang melakukan pelayanan kedokteran nuklir dengan menggunakan kamera gamma, disamping masih terdapat 2 rumah sakit lagi yang hanya mengoperasikan alat penatah ginjal yang dikenal dengan nama Renograf.
Pemanfaatan Teknik RADIOISOTOP
1. Teknik Pengaktifan Neutron
Teknik ini dapat digunakan untuk menentukan kandungan mineral tubuh terutama untuk unsur-unsur yang terdapat dalam tubuh dengan jumlah yang sangat kecil (Co, Cr, F, Mn, Se, Si, V, Zn, dll) sehingga sulit ditentukan dengan metoda konvensional. Kelebihan teknik ini terletak pada sifatnya yang tidak merusak dan kepekaan yang sangat tinggi
2. Penentuan Kerapatan Tulang Dengan Bone Densitometer
Pengukuran kerapatan tulang dilakukan dengan cara menyinari tulang dengan radiasi gamma atau sinar-X. Berdasarkan banyaknya radiasi gamma atau sinar-X yang diserap tulang yang diperiksa maka dapat ditentukan konsentrasi mineral kalsium dalam tulang. Perhitungan dilakukan oleh komputer yang dipasang pada alat bone densitometer tersebut. Teknik ini bermanfaat sebagai alat bantu diagnosis kekeroposan tulang (osteoporosis) yang sering menyerang wanita pada usia menupause (mati haid) sehingga menyebabkan tulang mudah patah.
3. Three Dimensional Conformal Radiotherapy (3D-CRT)
Terapi radiasi dengan menggunakan sumber radiasi tertutup atau pesawat pembangkit radiasi sudah lama dikenal untuk pengobatan penyakit kanker. Perkembangan teknik elektronika maju dan peralatan komputer canggih dalam dua dekade, telah membawa perkembangan pesat dalam teknologi radioterapi. Dengan menggunakan pesawat pemercepat partikel generasi terakhir telah dimungkinkan untuk melakukan radioterapi kanker dengan sangat presisi dan tingkat keselamatan yang tinggi melalui kemampuannya yang sangat selektif untuk membatasi bentuk jaringan tumor yang akan dikenai radiasi, memformulasikan serta memberikan paparan radiasi dengan dosis yang tepat pada target. Dengan memanfaatkan teknologi 3D-CRT ini sejak tahun 1985 telah berkembang metode pembedahan dengan radiasi pengion sebagai pisau bedahnya (gamma knife). Kasus-kasus tumor ganas yang sulit dijangkau dengan pisau bedah konvensional menjadi dapat diatasi dengan teknik ini, bahkan tanpa perlu membuka kulit pasien dan tanpa merusak jaringan di luar target.





DAFTAR PUSTAKA

http://astaqauliyah.com/2005/05/nuklir-di-bidang-kesehatan-dan-kedokteran/
http://id.wikipedia.org/wiki/Radioisotop