Jumat, 08 Februari 2013

PEMERIKSAAN RADIOLOGI RADIOISOTOP


PEMERIKSAAN RADIOLOGI
RADIOISOTOP


Pengertian Radioisotop
Radioisotop adalah isiotop dari zat radioaktif, dibuat dengan menggunakan reaksi inti dengan netron. Isotop suatu unsur baik yang stabil maupun radioaktif memiliki sifat kimia yang sama. Radioisotop dapat digunakan sebagai perunut (untuk mengikuti unsur dalam suatu proses yang menyangkut senyawa atau sekelompok senyawa) dan sebagai sumber radiasi /sumber sinar.
Pengunaan radioisotop sebagai perunut didasarkan pada ikatan bahwa isotop radioaktif mempunyai sifat kimia yang sama dengan isotop stabil. Radoisotop ditambahkan ke dalam suatu sistem untuk mempelajari sistem itu, baik sistem fisika, kimia maupun sistem biologi. Oleh karena radioisotop mempunyai sifat kimia yang sama seperti isotop stabilnya, maka radioisotop dapat digunakan untuk menandai suatu senyawa sehingga perpindahan perubahan senyawa itu dapat dipantau.
Sedangkan penggunaan radioisotop sebagai sumber radiasi didasarkan pada kenyataan bahwa radiasi yang dihasilkan zat radioaktif dapat mempengaruhi materi maupun mahluk. Radiasi dapat digunakan untuk memberi efek fisis: efek kimia, maupun efek biologi.
Radionuklida atau radioisotop adalah isotop dari zat radioaktif. radionuklida mampu memancarkan radiasi. Radionuklida dapat terjadi secara alamiah atau sengaja dibuat oleh manusia dalam reaktor penelitian. Produksi radionuklida dengan proses aktivasi dilakukan dengan cara menembaki isotop stabil dengan neutron di dalam teras reaktor. Proses ini lazim disebut irradiasi neutron, sedangkan bahan yang disinari disebut target atau sasaran. Neutron yang ditembakkan akan masuk ke dalam inti atom target sehingga jumlah neutron dalam inti target tersebut bertambah. Peristiwa ini dapat mengakibatkan ketidakstabilan inti atom sehingga berubah sifat menjadi radioaktif.
Banyak isotop buatan yang dapat dimanfaatkan antara lain Na-24, P-32, Cr-51, Tc-99, dan I-131.
Radio-isotop adalah bidang kedokteran memanfaatkan materi radioaktif untuk menegakkan diagnosa, terapi dan mempelajari penyakit manusia. Henry N Wagner Jr, radio-isotop nuklir sebagai segi tiga dengan sisi-sisi: radio farmaka, instrumen, biomedik dan penderita di tengah-tengah. Atom terdiri inti, neutron dan proton yang dikelilingi lintasan elektron K, L, H, O dan Q.
Dalam keadaan stabil, energi ikatan inti atom berada dalam tingkat tertentu. Keadaan tidak stabil, energi ikatan inti atom berubah sehingga inti atom akan berusaha untuk mencapai tingkat keseimbangan yang baru dengan memecahkan diri (inti atom menjadi 2 atau lebih, lebih kecil) atau mengeluarkan energi tertentu. Keadaan inti atom ini disebut radioaktif dan perubahan sebagai peluruhan. Pada waktu meluruh terjadi radiasi partikel (radiasi elektromagnetik).
Sinar partikel adalah sinar a (inti helium = 2 He) dan sinar b (elektron = e) sedangkan gelombang elektromagnetik sebagai sinar g.
Di Indonesia, sinar b dari isotop I131 untuk terapi hypertroidisme dan Ca thyroid; sinar g I131 mempunyai daya tembus besar untuk scanning kelenjar thyroid dan grafik renogram.


Radio-isotop sebagai pencitraan diagnostik
Radio-isotop memberikan data pencitraan (imaging) organ merupakan pemeriksaan in vivo oleh karena menjadikan organ tubuh sebagai sumber radiasi. Peta energi sumber radiasi dapat diamati untuk menentukan besar, bentuk dan letak organ serta kelainannya. Radio-farmaka yang tidak diberikan penderita untuk menghitung konsentrasi hormon atau obat dalam darah. Dengan mengambil sample plasma penderita dan direaksikan dengan radioaktif yang ditetapkan baik reaksi kompetitif maupun reaksi immunology menghasilkan ketepatan baik, misalnya Reaksi Radio Immuno Assay (RIA) untuk menghitung hormon T3 dan T4.
Abad 20 ditandai dengan perkembangan yang menakjubkan di bidang ilmu dan pengetahuan (iptek), termasuk iptek kedokteran dan kesehatan, sehingga memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam diagnosis dan terapi berbagai penyakit.
Penggunaan isotop radioaktif dalam bidang kedokteran telah dimulai tahun 1901 oleh Henri Danlos yang menggunakan Radium untuk pengobatan penyakit Tuberculosis pada kulit. Tetapi yang dianggap Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir adalah George C de Havessy. Dialah yang meletakkan dasar prinsip perunut dengan menggunakan zat radioaktif. Waktu itu yang digunakan adalah radioisotop alam Pb212. Dengan ditemukannya radioisotop buatan, maka radioisotop alam tidak lagi digunakan.
Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal perkembangan kedokteran nuklir adalah I131. Pemakaiannya kini telah terdesak oleh Tc99m, selain karena sifatnya yang ideal dari segi proteksi radiasi dan pembentukan citra juga dapat diperoleh dengan mudah, serta harga relatif murah. Namun demikian, I131 masih sangat diperlukan untuk diagnostik dan terapi, khususnya kanker kelenjar tiroid.
Perkembangan ilmu kedokteran nuklir yang sangat pesat didukung oleh perkembangan teknologi instrumentasi untuk pembuatan citra terutama dengan digunakannya komputer untuk pengolahan data sehingga sistem intrumentasi yang dahulu hanya menggunakan detektor radiasi biasa dengan sistem elektronik sederhana, kini telah berkembang menjadi peralatan canggih kamera gamma dan kamera positron yang dapat menampilkan citra alat tubuh, baik dua dimensi maupun tiga dimensi, serta statik maupun dinamik. Berbagai disiplin ilmu kedokteran seperti penyakit dalam, ilmu penyakit syaraf, ilmu penyakit jantung, dan sebagainya telah mengambil manfaat dari teknik nuklir ini.
Kedokteran Nuklir
Merupakan cabang ilmu kedokteran yang menggunakan sumber radiasi terbuka berasal dari disintegrasi inti radionuklida buatan, untuk mempelajari perubahan fisiologi, anatomi dan biokimia, sehingga dapat digunakan untuk tujuan diagnostik, terapi dan penelitian kedokteran.
Radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien (studi in-vivo) maupun hanya direaksikan saja dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung, urine, dan sebagainya, yang diambil dari tubuh pasien, yang lebih dikenal sebagai studi in-vitro (dalam gelas percobaan).
Pada studi in-vivo, setelah radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien melalui mulut, suntikan, atau dihirup lewat hidung, maka informasi yang dapat diperoleh dari pasien dapat berupa:
1. Citra atau gambar dari organ/bagian tubuh pasien yang diperoleh dengan bantuan peralatan kamera gamma ataupun kamera positron (teknik imaging).
2. Kurva-kurva kinetika radioisotop dalam organ/bagian tubuh tertentu dan angka-angka yang menggambarkan akumulasi radioisotop dalam organ/bagian tubuh tertentu disamping citra atau gambar yang diperoleh dengan kamera gamma ataupun kamera positron
3. Radioaktivitas yang terdapat dalam contoh bahan biologis )darah, urine, dll) yang diambil dari tubuh pasien, dicacah dengan instrumen yang dirangkaikan pada detektor radiasi (teknik non-imaging).
Data yang diperoleh baik dengan teknik imaging maupun teknik non-imaging memberikan informasi mengenai fungsi organ yang diperiksa. Pencitraan (imaging) pada kedokteran nuklir dalam beberapa hal berbeda dengan pencitraan dalam radiologi (lihat tabel dibawah).
KEDOKTERAN NUKLIR RADIOLOGI
Sumber Radiasi Zat radioaktif yang terbuka Pesawat pembangkit radiasi
Pembentukan Citra Emisi radiasi, perbedaan akumulasi radioisotop dalam berbagai bagian tubuh Transmisi radiasi; pembedaan daya tembus radiasi terhadap berbagai bagian tubuh
Informasi yang diberikan Terutama fungsional Terutama anatomis-morfologis
Pada studi in-vitro. dari tubuh pasien diambil sejumlah tertentu bahan biologis misalnya 1 ml darah. Cuplikan bahan biologis tersebut kemudian direaksikan dengan suatu zat yang telah ditandai dengan radioisotop. Pemeriksaannya dilakukan dengan bantuan detektor radiasi gamma yang dirangkai dengan suatu sistem instrumentasi. Studi semacam ini biasanya dilakukan untuk mengetahui kandungan hormon-hormon tertentu dalam darah pasien seperti insulin, tiroksin, dan lain-lain.
Pemeriksaan kedokteran nuklir banyak membantu dalam menunjang diagnosis berbagai penyakit seperti penyakit jantung koroner, kelenjar gondok, gangguan fungsi ginjal, menentukan tahapan penyakit kanker dengan mendeteksi penyebarannya pada tulang, mendeteksi pendarahan pada saluran penceraan makanan dan menentukan lokasinya, serta masih banyak lagi yang dapat diperoleh dari diagnosis dengan penerapan teknologi nuklir yang sangat pesat perkembangannya.
Disamping membantu penetapan diagnosis, teknologi nukilr juga berperan dalam terapi penyakit-penyakit tertentu, misalnya kanker kelenjar gondok, hiperfungsi kelenjar gondok yang membandel terhadap pemberian obat-obatan non radiasi, keganasan sel darah merah, inflamasi (peradangan) sendi yang sulit dikendalikan dengan menggunakan terapi obat-obatan biasa. Untuk keperluan diagnosis, radioisotop diberikan dalam dosis yang sangat kecil, tapi dalam terapi radioisotop sengaja diberikan dosis yang besar terutama dalam pengobatan terhadap janringan kanker dengan tujuan untuk melenyapkan sel-sel yang menyusun janringan kanker itu.
Di Indonesia, kedokteran nuklir diperkenalkan pada akhir tahun 1960an, yaitu setelah reaktor atom Indonesia yang pertama di Bandung mulai dioperasikan. Beberapa tenaga ahli Indonesia dibantu oleh tenaga ahli dari luar negeri merintis pendirian suatu unit kedokteran nuklir di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknik Nuklir di Bandung. Unit ini merupakan cikal bakal Unit Kedokteran Nuklir RSU Hasan Sadikin, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Menyusul kemudian unit-unit berikutnya di Jakarta (RSCM, RS Pusat Pertamina, RS Gatot Subroto) dan di Surabaya (RS Soetomo). Pada tahun 1980an didirikan unit-unit kedokteran nuklir berikutnya di RS Sardjito Yogyakarta, RS Karyadi Semarang, RS Jantung Harapan Kita Jakarta, dan RS Fatmawati Jakarta. Saat ini di Indonesia terdapat 15 rumah sakit yang melakukan pelayanan kedokteran nuklir dengan menggunakan kamera gamma, disamping masih terdapat 2 rumah sakit lagi yang hanya mengoperasikan alat penatah ginjal yang dikenal dengan nama Renograf.
Pemanfaatan Teknik RADIOISOTOP
1. Teknik Pengaktifan Neutron
Teknik ini dapat digunakan untuk menentukan kandungan mineral tubuh terutama untuk unsur-unsur yang terdapat dalam tubuh dengan jumlah yang sangat kecil (Co, Cr, F, Mn, Se, Si, V, Zn, dll) sehingga sulit ditentukan dengan metoda konvensional. Kelebihan teknik ini terletak pada sifatnya yang tidak merusak dan kepekaan yang sangat tinggi
2. Penentuan Kerapatan Tulang Dengan Bone Densitometer
Pengukuran kerapatan tulang dilakukan dengan cara menyinari tulang dengan radiasi gamma atau sinar-X. Berdasarkan banyaknya radiasi gamma atau sinar-X yang diserap tulang yang diperiksa maka dapat ditentukan konsentrasi mineral kalsium dalam tulang. Perhitungan dilakukan oleh komputer yang dipasang pada alat bone densitometer tersebut. Teknik ini bermanfaat sebagai alat bantu diagnosis kekeroposan tulang (osteoporosis) yang sering menyerang wanita pada usia menupause (mati haid) sehingga menyebabkan tulang mudah patah.
3. Three Dimensional Conformal Radiotherapy (3D-CRT)
Terapi radiasi dengan menggunakan sumber radiasi tertutup atau pesawat pembangkit radiasi sudah lama dikenal untuk pengobatan penyakit kanker. Perkembangan teknik elektronika maju dan peralatan komputer canggih dalam dua dekade, telah membawa perkembangan pesat dalam teknologi radioterapi. Dengan menggunakan pesawat pemercepat partikel generasi terakhir telah dimungkinkan untuk melakukan radioterapi kanker dengan sangat presisi dan tingkat keselamatan yang tinggi melalui kemampuannya yang sangat selektif untuk membatasi bentuk jaringan tumor yang akan dikenai radiasi, memformulasikan serta memberikan paparan radiasi dengan dosis yang tepat pada target. Dengan memanfaatkan teknologi 3D-CRT ini sejak tahun 1985 telah berkembang metode pembedahan dengan radiasi pengion sebagai pisau bedahnya (gamma knife). Kasus-kasus tumor ganas yang sulit dijangkau dengan pisau bedah konvensional menjadi dapat diatasi dengan teknik ini, bahkan tanpa perlu membuka kulit pasien dan tanpa merusak jaringan di luar target.





DAFTAR PUSTAKA

http://astaqauliyah.com/2005/05/nuklir-di-bidang-kesehatan-dan-kedokteran/
http://id.wikipedia.org/wiki/Radioisotop




Tidak ada komentar:

Posting Komentar