ASUHAN KEPERAWATAN
HYPERTROPI PROSTAT
A.
Konsep Medik
- Pengertian Hipertropi Prostat
Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari
kelenjar periurethral yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer
dan menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de, 1998).
- Etiologi
Banyak teori yang menjelaskan terjadinya pembesaran
kelenjar prostat, namun sampai sekarang belum ada kesepakatan mengenai hal
tersebut. Ada beberapa teori mengemukakan mengapa kelenjar periurethral dapat mengalami
hiperplasia, yaitu :
1. Teori Sel Stem (Isaacs 1984).
Berdasarkan teori ini
jaringan prostat pada orang dewasa berada pada keseimbangan antara pertumbuhan
sel dan sel mati, keadaan ini disebut steady state. Pada jaringan prostat
terdapat sel stem yang dapat berproliferasi lebih cepat, sehingga terjadi
hiperplasia kelenjar periurethral.
2. Teori MC Neal (1978).
Menurut MC. Neal,
pembesaran prostat jinak dimulai dari zona transisi yang letaknya sebelah
proksimal dari spincter eksterna pada kedua sisi veromontatum di zona
periurethral.
3. Teori Di Hidro Testosteron (DHT).
Testosteron adalah
hormon pria yang dihasilkan oleh sel leyding. Testosteron sebagian besar
dihasilkan oleh kedua testis, sehingga timbulnya pembesaran prostat memerlukan
adanya testis yang normal. Jumlah testosteron yang dihasilkan oleh testis
kira-kira 90 % dari seluruh produksi testosteron, sedang yang 10 % dihasilkan
oleh kelenjar adrenal.
Sebagian besar testosteron dalam tubuh berada
dalam keadaan terikat dengan protein dalam bentuk Serum Binding Hormon (SBH).
Sekitar 2 % testosteron berada dalam keadaan bebas. Hormon yang bebas inilah
yang memegang peranan dalam proses terjadinya pembesaran kelenjar prostat.
Testosteron bebas dapat masuk ke dalam sel prostat dengan menembus membran sel
ke dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT – reseptor komplek yang
akan mempengaruhi Asam Ribo Nukleat (RNA) yang dapat menyebabkan terjadinya
sintetis protein sehingga dapat terjadi proliferasi sel (MC Connel 1990).
Perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen dapat terjadi dengan
bertambahnya usia 50 tahun ke atas
- Anatomi Dan Fisiologi
Spincter externa mengelilingi urethra di bawah vesica urinaria
pada wanita, tetapi pada laki-laki terdapat kelenjar prostat yang berada
dibelakang spincter penutup urethra. Prostat mengekskresikan cairannya ke dalam
urethra pada saat ejakulasi, cairan prostat ini memberi makanan kepada sperma.
Cairan ini memasuki urethra pars prostatika dari vas deferens.
Prostat dilewati oleh :
Prostat dilewati oleh :
a.
Ductus ejakulatorius,
terdiri dari 2 buah berasal dari vesica seminalis bermuara ke urethra.
b.
Urethra itu sendiri,
yang panjangnya 17 – 23 cm.
Secara otomatis
besarnya prostat adalah sebagai berikut :
a.
Transversal : 1,5
inchi
b.
Vertical : 1,25 inchi
c.
Anterior Posterior :
0,75 inchi
Prostat terdiri dari 5 lobus yaitu :
a. Dua lobus lateralis
b. Satu
lobus posterior
c. Satu lobus anterior
d. Satu lobus medial
Kelenjar prostat kira-kira sebesar buah kenari besar, letaknya
di bawah kandung kemih. Normal beratnya prostat pada orang dewasa diperkirakan
20 gram.
- Patofisiologi.
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi
dan iritasi. Adanya obstruksi jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada
permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi
menjadi melemah, dan rasa belum puas selesai miksi. Gejala iritasi disebabkan
oleh hipersentivitas otot detrusor, berarti bertambahnya frekuensi miksi,
nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena
detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup
lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan
yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan
rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun
belum penuh. Keadaan ini membuat sistem scoring untuk menentukan beratnya
keluhan klinik penderita hipertropi prostat. Apabila vesica menjadi
dekompensasi, akan terjadi retensi urine sehingga pada akhir miksi masih
ditemukan sisa urine di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada
akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan
total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi karena produksi urine terus
terjadi maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menahan urine, sehingga
tekanan vesika terus meningakat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi
dari pada tekanan spincter dan obstruksi, akan terjadi Inkotinensia Paradoks
Retensi kronik menyebabkan refluks vesicoureter, hidroureter, hidronefrosis dan
gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila ada infeksi.
Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama
kelamaan menyebabkan hernia atau haemorhoid. Karena selalu terdapat sisa urine
dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah
keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan
cystitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pyelonefritis.
Ada 3 cara untuk mengukur besarnya hipertropi prostat, yaitu :
a.
rectal grading
b.
clinical grading
c.
intra urethra grading.
Rectal grading
Recthal grading atau rectal toucher dilakukan
dalam keadaan buli-buli kosong. Sebab bila buli-buli penuh dapat terjadi
kesalahan dalam penilaian. Dengan rectal toucher diperkirakan dengan beberapa
cm prostat menonjol ke dalam lumen dan rectum. Menonjolnya prostat dapat
ditentukan dalam grade. Pembagian grade sebagai berikut :
0 – 1 cm……….: Grade 0
1 – 2 cm……….: Grade 1
2 – 3 cm……….: Grade 2
3 – 4 cm……….: Grade 3
Lebih 4 cm…….: Grade 4
Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostat tidak dapat
diraba karena benjolan masuk ke dalam cavum rectum. Dengan menentukan rectal
grading maka didapatkan kesan besar dan beratnya prostat dan juga penting untuk
menentukan macam tindakan operasi yang akan dilakukan. Bila kecil (grade 1),
maka terapi yang baik adalah T.U.R (Trans Urethral Resection) Bila prostat
besar sekali (grade 3-4) dapat dilakukan prostatektomy terbuka secara trans vesical.
Clinical grading
Pada pengukuran ini yang menjadi patokan
adalah banyaknya sisa urine. Pengukuran ini dilakukan dengan cara, pagi hari
pasien bangun tidur disuruh kemih sampai selesai, kemudian dimasukkan catheter
ke dalam kandung kemih untuk mengukur sisa urine.
Sisa urine 0 cc……………….…… Normal
Sisa urine 0 – 50 cc…………….… Grade 1
Sisa urine 50 – 150 cc……………. Grade 2
Sisa urine >150 cc………………… Grade 3
Sama sekali tidak bisa kemih…… Grade 4
Intra urethra grading
Untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus
lateral ke dalam lumen urethra. Pengukuran ini harus dapat dilihat dengan
penendoskopy dan sudah menjadi bidang dari urology yang spesifik. Efek yang
dapat terjadi akibat hypertropi prostat :
1. Terhadap urethra.
Bila lobus medius
membesar, biasanya arah ke atas mengakibatkan urethra pars prostatika bertambah
panjang,dan oleh karena fiksasi ductus ejaculatorius maka perpanjangan akan
berputar dan mengakibatkan sumbatan.
2. Terhadap vesica urinaria. Pada vesica urinaria
akan didapatkan hypertropi otot sebagai akibat dari proses kompensasi, dimana
muscle fibro menebal ini didapatkan bagian yang mengalami depresi (lekukan)
yang disebut potensial divertikula. Pada proses yang lebih lama akan terjadi
dekompensasi dari pada otot-otot yang hypertropi dan akibatnya terjadi atonia
(tidak ada kekuatan) dari pada otot-otot tersebut. Kalau pembesaran terjadi
pada medial lobus, ini akan membentuk suatu post prostatika pouch, ini adalah
kantong yang terdapat pada kandung kemih dibelakang medial lobe. Post
prostatika adalah sebagai sumber dari terbentuknya residual urine (urine yang
tersisa) dan pada post prostatika pouch ini juga selalu didapati adanya
batu-batu di kandung kemih.
3. Terhadap ureter dan ginjal.
Kalau keadaan urethra vesica valve baik, maka
tekanan ke ekstra vesikel tidak diteruskan ke atas, tetapi bila valve ini rusak
maka tekanan diteruskan ke atas, akibatnya otot-otot calyces, pelvis, ureter sendiri
mengalami hipertropy dan akan mengakibatkan hidronefrosis dan akibat lanjut
uremia.
4. Terhadap sex organ.
Mula-mula libido
meningkat, teatapi akhirnya libido menurun.
Gejala Klinik
Terbagi 4 grade yaitu
:
Pada grade 1
(congestic) :
1.
Mula-mula pasien
berbulan atau beberapa tahun susah kemih dan mulai mengedan.
2.
Kalau miksi merasa
puas.
3.
Urine keluar menetes
dan pancaran lemah.
4.
Nocturia
5.
Urine keluar malam
hari lebih dari normal.
6.
Ereksi lebih lama dari
normal dan libido lebih dari normal.
7.
Pada cytoscopy
kelihatan hyperemia dari orificium urethra interna. Lambat laun terjadi varices
akhirnya bisa terjadi perdarahan (blooding).
Pada grade 2 (residual) :
8.
Bila miksi terasa
panas.
9.
Dysuri nocturi
bertambah berat.
10. Tidak bisa buang air kecil (kemih tidak puas).
11. Bisa terjadi infeksi karena sisa air kemih.
12. Terjadi panas tinggi dan bisa menggigil.
13. Nyeri pada daerah pinggang (menjalar ke
ginjal).
Pada grade 3 (retensi urine) :
14. Ischuria paradosal.
15. Incontinensia paradosal.
Pada grade 4 :
16. Kandung kemih penuh.
17. Penderita merasa kesakitan.
18. Air kemih menetes secara periodik yang disebut
over flow incontinensia.
19. Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen
bawah untuk meraba ada tumor, karena bendungan yang hebat.
20. Dengan adanya infeksi penderita bisa menggigil
dan panas tinggi sekitar 40 – 410 C.
21. Selanjutnya penderita bisa koma.
- Diagnostik Test.
Diagnosa klinik pembesaran prostat dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan sebagai berikut :
a. Anamnese yang baik
b. Pemeriksaan fisik
Dapat dilakukan dengan
pemeriksaan rectal toucher, dimana pada pembesaran prostat jinak akan teraba
adanya massa pada dining depan rectum yang konsistensinya kenyal, yang kalau
belum terlalu besar masih dapat dicapai batas atasnya dengan ujung jari, sedang
apabila batas atasnya sudah tidak teraba biasanya jaringan prostat sudah lebih
dari 60 gr.
c. Pemeriksaan sisa kemih
d. Pemeriksaan ultra sonografi (USG)
Dapat dilakukan dari
supra pubic atau transrectal (Trans Rectal Ultra Sonografi :TRUS). Untuk
keperluan klinik supra pubic cukup untuk memperkirakan besar dan anatomi
prostat, sedangkan TRUS biasanya diperlukan untuk mendeteksi keganasan.
e. Pemeriksaan endoscopy.
Bila pada pemeriksaan
rectal toucher, tidak terlalu menonjol tetapi gejala prostatismus sangat jelas
atau untuk mengetahui besarnya prostat yang menonjol ke dalam lumen.
f. Pemeriksaan radiologi.
Dengan pemeriksaan
radiology seperti foto polos perut dan pyelografi intra vena yang sering
disebut IVP (Intra Venous Pyelografi) dan BNO (Buich Nier Oversich). Pada
pemeriksaan lain pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek irisan kontras
pada dasar kandung kemih dan ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk
seperti mata kail/pancing (fisa hook appearance).
g. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
Computed Tomography
Scanning (CT-Scan) dapat memberikan gambaran adanya pembesaran prostat, sedangkan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran prostat pada bidang
transversal maupun sagital pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini
jarang dilakukan karena mahal biayanya.
h. Pemeriksaan sistografi.
Dilakukan apabila pada
anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urine ditemukan
mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di
dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas apabila darah datang dari
muara ureter atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat
juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra
pars prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.
i.
Pemeriksaan lain.
Secara spesifik untuk pemeriksaan pembesaran
prostat jinak belum ada, yang ada ialah pemeriksaan penanda adanya tumor untuk
karsinoma prostat yaitu pemeriksaan Prostatic Spesifik Antigen (PSA), angka
penggal PSA ialah 4 nanogram/ml.
- Diagnosa banding.
Oleh karena adanya proses miksi tergantung
pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas leher kandung kemih dengan tonus
ototnya dan resistensi urethra yang merupakan faktor dalam kesulitan miksi.
Kelemahan detrusor disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih neurologik)
misalnya : Lesi medulla spinalis, penggunaan obat penenang. Kekakuan leher
vesica disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi urethra disebabkan
oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher kandung kemih, batu di
urethra atau striktur urethra. Pengobatan
Setiap kesulitan miksi yang diakibatkan dari salah satu faktor
seperti berkurangnya kekuatan kontraksi detrusor atau menurunya elastisitas
leher vesica, maka tindakan pengobatan ditujukan untuk mengurangi volume prostat,
mengurangi tonus leher vesica atau membuka urethra pars prostatica dan menambah
kekuatan kontraksi detrusor agar proses miksi menjadi mudah.
Pengobatan untuk hipertropy prostat ada 2 macam :
a. Konsevatif
b. Operatif
Dalam pengobatan ini dilakukan berdasarkan pembagian besarnya
prostat, yaitu derajat 1 – 4 :
a. Derajat I
Dilakukan pengobatan
koservatif, misalnya dengan fazosin, prazoin dan terazoin (untuk relaksasi otot
polos).
b. Derajat II
Indikasi untuk
pembedahan. Biasanya dianjurkan resekesi endoskopik melalui urethra.
c. Derajat III
Diperkirakan prostat
cukup besar dan untuk tindakan yang dilakukan yaitu pembedahan terbuka melalui
transvesical, retropubic atau perianal.
d. Derajat IV
Membebaskan penderita dari retensi urine total
dengan memasang catheter, untuk pemeriksaan lebih lanjut dalam pelaksanaan
rencana pembedahan.
Konservatif.
Pengobatan konservatif ini bertujuan untuk
memperlambat pertumbuhan pembesaran prostat. Tindakan dilakukan bila terapi
operasi tidak dapat dilakukan, misalnya : menolak operasi atau adanya kontra
indikasi untuk operasi. Tindakan terapi konservatif yaitu :
a. Mengusahakan agar prostat tidak mendadak
membesar karena adanya infeksi sekunder dengan pemberian antibiotika.
b. Bila retensi urine dilakukan catheterisasi.
Operatif.
Pembedahan merupakan pengobatan utama pada
hipertropi prostat benigna (BPH), pada waktu pembedahan kelenjar prostat
diangkat utuh dan jaringan soft tissue yang mengalami pembesaran diangkat
melalui 4 cara yaitu :
a. Transurethral.
Dilaksanakan bila
pembesaran terjadi pada lobus medial yang langsung mengelilingi urethra.
Jaringan yang direseksi hanya sedikit sehingga tidak terjadi perdarahan dan
waktu pembedahan tidak terlalu lama. Rectoscope disambungkan dengan arus
listrik lalu di masukkan ke dalam urethra.Kandung kemih di bilas terus menerus
selama prosedur berjalan.Pasien mendapat alat untuk masa terhadap shock listrik
dengan lempeng logam yang di beri pelumas di tempatkan pada bawah paha.Kepingan
jaringan yang halus di buang dengan irisan dan tempat-tempat perdarahan di
tutup dengan cauter. Setelah TURP di pasang catheter Foley tiga saluran yang di
lengkapi balon 30 ml.Setelah balon catheter di kembangkan, catheter di tarik ke
bawah sehingga balon berada pada fosa prostat yang bekerja sebagai
hemostat.Ukuran catheter yang besar di pasang untuk memperlancar pengeluaran
gumpalan darah dari kandung kemih. Kandung kemih diirigasi terus dengan alat
tetesan tiga jalur dengan garam fisiologisatau larutan lain yang di pakai oleh
ahli bedah.Tujuan dari irigasi konstan ialah untuk membebaskan kandung kemih
dari ekuan darah yang menyumbat aliran kemih.Irigasi kandung kemih yang konstan
di hentikan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan dari kandung kemih.Kemudian
catheter bisa dibilas biasa tiap 4 jam sekali sampai catheter di angkat
biasanya 3 sampai 5 hari setelah operasi.Setelah catheter di angkat pasien
harus mengukur jumlah urine dan waktu tiap kali berkemih.
b. Suprapubic Prostatectomy.
Metode operasi
terbuka, reseksi supra pubic kelenjar prostat diangkat dari urethra lewat
kandung kemih.
c. Retropubic Prostatectomy.
Pada prostatectomy
retropubic dibuat insisi pada abdominal bawah tapi kandung kemih tidak dibuka.
d. Perianal prostatectomy.
Dilakukan pada dugaan kanker prostat, insisi
dibuat diantara scrotum dan rectum.
Komplikasi :
a. Perdarahan
b. Inkotinensia
c. Batu kandung kemih
d. Retensi urine
e. Impotensi
f. Epididimitis
g. Haemorhoid, hernia, prolaps rectum akibat
mengedan
h. Infeksi saluran kemih disebabkan karena catheterisasi
i.
Hydronefrosis.
Hal-hal yang harus dilakukan pada pasien setelah pulang dari
rumah sakit adalah ;
latihan berat, mengangkat berat dan sexual intercourse dihindari
selama 3 minggu setelah dirumah. Tidak boleh membawa kendaraan, mengedan pada
saat defekasi harus dihindari, faeces harus lembek kalau perlu pemberian obat
untuk melembekkan faeces, menganjurkan banyak minum untuk mencegah statis dan
infeksi dan membuat faeces lembek.
- Konsep Dasar Keperawatan
Asuhan keperawatan pasien dengan hipertropi prostat melalui
pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian keperawatan,
perencanaan keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.
- Pengkajian Keperawatan
Pengumpulan data.
Data dasar yang berhubungan dengan post operasi hipertropi
prostat. Mengelompokkan data merupakan langkah yang dilakukan setelah
mengadakan pengumpulan data yang diperoleh sebagai berikut :
·
Nyeri pada daerah
tindakan operasi.
·
Pusing.
·
Perubahan frekuensi
berkemih.
·
Urgensi.
·
Dysuria
·
Flatus negatif.
·
Luka tindakan operasi
pada daerah prostat.
·
Retensi, kandung kemih
penuh.
·
Inkontinensia
·
Bibir kering.
·
Puasa.
·
Bising usus negatif.
·
Ekspresi wajah
meringis.
·
Pemasangan catheter
tetap.
·
Gelisah.
·
Informasi kurang.
·
Urine berwarna
kemerahan.
- Diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan disusun menurut prioritas
masalah pada pasien post operasi hipertropi prostat, adalah sebagai berikut :
a. Perubahan eliminasi urine berhubungan
obstruksi mekanikal : bekuan darah, oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan
iritasi catheter/balon.
b. Resiko terjadi kekurangan volume cairan
berhubungan dengan area bedah vaskuler : kesulitan mengontrol perdarahan.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur
invasive : alat selama pembedahan, catheter, irigasi kandung kemih sering,
trauma jaringan, insisi bedah.
d. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan
dengan iritasi mukosa kandung kemih : refleks spasme otot sehubungan dengan
prosedur bedah dan / tekanan dari balon kandung kemih.
e. Resiko terjadi disfungsi seksual berhubungan
dengan situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan
catheter, keterlibatan area genital).
f. Anxietas berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.
- Perencanaan Keperawatan.
a.
Perubahan eliminasi
urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal : bekuan darah, oedema, trauma,
prosedur bedah, tekanan dan irigasi catheter/balon, ditandai dengan :
·
Nyeri pada daerah
tindakan operasi.
·
Perubahan frekuensi
berkemih.
·
Urgensi.
·
Dysuria.
·
Pemasangan catheter
tetap.
·
Adanya luka tindakan
operasi pada daerah prostat.
·
Urine berwarna
kemerahan.
Tujuan : Klien mengatakan tidak ada keluhan,
dengan kriteria :
·
Catheter tetap paten
pada tempatntya.
·
Tidak ada sumbatan
aliran darah melalui catheter.
·
Berkemih tanpa aliran
berlebihan.
·
Tidak terjadi retensi
pada saat irigasi.
Intervensi :
a.
Kaji haluaran urine
dan sistem catheter/drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih.
Rasional :
Rasional :
Retensi
dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan spasme kandung kemih.
b.
Perhatikan waktu,
jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah catheter dilepas.
Rasional
:
Catheter
biasanya dilepas 2 – 5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut
menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema urethral dan kehilangan
tonus.
c.
Dorong klien untuk
berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2 – 4 jam.
Rasional :
Rasional :
Berkemih
dengan dorongan dapat mencegah retensi, urine. Keterbatasan berkemih untuk tiap
4 jam (bila ditoleransi) meningkatkan tonus kandung kemih dan membantu latihan
ulang kandung kemih.
d.
Ukur volume residu
bila ada catheter supra pubic.
Rasional
:
Mengawasi
keefektifan kandung kemih untuk kosong. Residu lebih dari 50 ml menunjukkan
perlunya kontinuitas catheter sampai tonus otot kandung kemih membaik.
e.
Dorong pemasukan
cairan 3000 ml sesuai toleransi.
Rasional
:
Mempertahankan
hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine.
f.
Kolaborasi medis untuk
irigasi kandung kemih sesuai indikasi pada periode pasca operasi dini.
Rasional
:
Mencuci
kandung kemih dari bekuan darah dan untuk mempertahankan patensi
catheter/aliran urine.
b. Resiko terjadi kekurangan volume cairan
berhubungan dengan area bedah vaskuler : kesulitan mengontrol perdarahan,
ditandai dengan :
·
Pusing.
·
Flatus negatif.
·
Bibir kering.
·
Puasa.
·
Bising usus negatif.
·
Urine berwarna
kemerahan.
Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume
cairan, dengan kriteria :
·
Tanda-tanda vital
normal.
·
Nadi perifer teraba.
·
Pengisian kapiler
baik.
·
Membran mukosa baik.
·
Haluaran urine tepat.
Intervensi :
a.
Benamkan catheter,
hindari manipulasi berlenihan.
Rasional
:
Penarikan/gerakan
catheter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan bekuan darah.
b.
Awasi pemasukan dan
pengeluaran cairan.
Rasional
:
Indicator
keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian. Pada irigasi kandung kemih,
awasi perkiraan kehilangan darah dan secara akurat mengkaji haluaran urine.
c.
Evaluasi warna,
komsistensi urine.
Rasional
:
Untuk
mengindikasikan adanya perdarahan.
d.
Awasi tanda-tanda
vital.
Rasional
:
Dehidrasi/hipovolemia
memerlukan intervensi cepat untuk mencegah berlanjut ke syok. Hipertensi,
bradikardi, mual/muntah menunjukkan sindrom TURP, memerlukan intervensi medik
segera.
e.
Kolaborasi untuk
pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi (Hb/Ht, jumlah sel darah merah).
Rasional
:
Berguna
dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur
pembedahan, catheter, irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan, insisi
bedah, ditandai dengan :
·
Nyeri daerah tindakan
operasi.
·
Dysuria.
·
Luka tindakan operasi
pada daerah prostat.
·
Pemasangan catheter
tetap.
Tujuan : Menunjukkan tidak tampak tanda-tanda
infeksi, dengan kriteria :
·
Tidak tampak
tanda-tanda infeksi.
·
Inkontinensia tidak
terjadi.
·
Luka tindakan bedah
cepat kering.
Intervensi :
a.
Berikan perawatan
catheter tetap secara steril.
Rasional
:
Mencegah
pemasukan bakteri dan infeksi/cross infeksi.
b.
Ambulasi kantung drainase
dependen.
Rasional
:
Menghindari
refleks balik urine, yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
c.
Awasi tanda-tanda
vital.
Rasional
:
Klien
yang mengalami TUR beresiko untuk syok bedah/septic sehubungan dengan
instrumentasi.
d.
Ganti balutan dengan
sering, pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu.
Rasional
:
Balutan
basah dapat menyebabkan iritasi, dan memberikan media untuk pertumbuhan
bakteri, peningkatan resiko infeksi.
e.
Kolaborasi medis untuk
pemberian golongan obat antibiotika.
Rasional
:
Dapat
membunuh kuman patogen penyebab infeksi.
d. Gangguan rasa nyaman ; nyeri berhubungan
dengan iritasi mukosa kandung kemih : refleks spasme otot berhubungan dengan
prosedur bedah dan/tekanan dari balon kandung kemih, ditandai dengan :
·
Nyeri pada daerah
tindakan operasi.
·
Luka tindakan operasi.
·
Ekspresi wajah
meringis.
·
Retensi urine,
sehingga kandung kemih penuh.
Intervensi :
a.
Kaji tingkat nyeri.
Rasional
:
Mengetahui
tingkat nyeri yang dirasakan klien dan memudahkan kita dalam memberikan tindakan.
b.
Pertahankan posisi
catheter dan sistem drainase.
Rasional
:
Mempertahankan
fungsi catheter dan sistem drainase, menurunkan resiko distensi/spasme kandung
kemih.
c.
Ajarkan tekhnik
relaksasi.
Rasional
:
Merileksasikan
otot-otot sehingga suplay darah ke jaringan terpenuhi/adekuat, sehingga nyeri
berkurang.
d.
Berikan rendam duduk
bila diindikasikan.
Rasional
:
Meningkatkan
perfusi jaringan dan perbaikan edema dan meningkatkan penyembuhan.
e.
Kolaborasi medis untuk
pemberian anti spasmodic dan analgetika.
Rasional
:
Golongan
obat anti spasmodic dapat merilekskan otot polos, untuk memberikan/menurunkan
spasme dan nyeri. Golongan obat analgetik dapat menghambat reseptor nyeri
sehingga tidak diteruskan ke otak dan nyeri tidak dirasakan.
e.
Resiko terjadi disfungsi
seksual berhubungan dengan situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urine
setelah pengangkatan catheter, keterlibatan area genital) ditandai dengan :
·
Tindakan pembedahan
kelenjar prostat.
Tujuan : Fungsi seksual dapat dipertahankan,
kriteria :
·
Pasien dapat
mendiskusikan perasaannya tentang seksualitas dengan orang terdekat.
Intervensi :
a. Berikan informasi tentang harapan kembalinya
fungsi seksual.
Rasional :
Impotensi fisiologis :
terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur bedah radikal ; pada
pendekatan lain, aktifitas seksual dapat dilakukan seperti biasa dalam 6 – 8
minggu.
b. Diskusikan dasar anatomi.
Rasional :
Saraf pleksus
mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui kapsul. Pada prosedur
yang tidak melibatkan kapsul prostat, impoten dan sterilitas biasanya tidak
terjadi.
c. Instruksikan latihan perineal.
Rasional :
Meningkatkan
peningkatan kontrol otot kontinensia urine dan fungsi seksual.
d. Kolaborasi ke penasehat seksualitas/seksologi
sesuai indikasi.
Rasional :
Untuk memerlukan
intervensi professional selanjutnya.
f.
Anxietas berhubungan
dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber
informasi, ditandai dengan :
·
Gelisah.
·
Informasi kurang
Tujuan : Klien mengungkapkan anxietas teratasi,
dengan kriteria :
·
Klien tidak gelisah.
·
Tampak rileks
Intervensi :
a. Kaji tingkat anxietas.
Rasional :
Mengetahui tingkat
anxietas yang dialami klien, sehingga memudahkan dalam memberikan tindakan
selanjutnya.
b. Observasi tanda-tanda vital.
Rasional :
Indikator dalam
mengetahui peningkatan anxietas yang dialami klien.
c. Berikan informasi yang jelas tentang prosedur
tindakan yang akan dilakukan.
Rasional :
Mengerti/memahami
proses penyakit dan tindakan yang diberikan.
d. Berikan support melalui pendekatan spiritual.
Rasional :
Agar klien mempunyai
semangat dan tidak putus asa dalam menjalankan pengobatan untuk penyembuhan
- Pelaksanaan Asuhan Keperawatan.
Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan
keperawatan, yang pelaksanaannya berdasarkan rencana keperawatan yang telah
disesuaikan pada langkah sebelumnya (perencanaan tindakan keperawatan).
- Evaluasi Keperawatan.
Asuhan keperawatan dalam bentuk perubahan
prilaku pasien merupakan focus dari evaluasi tujuan, maka hasil evaluasi
keperawatan dengan post operasi hipertropi prostat adalah sebagai berikut :
- Pola eliminasi urine dapat normal.
Kriteria hasil :
·
Menunjukkan prilaku
untuk mengendalikan refleks kandung kemih.
·
Pengosongan kandung
kemih tanpa adanya penekanan/distensi kandung kemih/retensi urine.
- Terpenuhinya kebutuhan cairan.
Kriteria hasil :
·
Tanda-tanda vital
normal
·
Nadi perifer
baik/teraba.
·
Pengisian kapiler
baik.
·
Membran mukosa lembab.
·
Haluaran urine tepat.
- Mencegah terjadinya infeksi.
Kriteria hasil :
Tercapainya
penyembuhan dan tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.
- Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.
Kriteria hasil :
·
Menunjukkan
keterampilan penggunaan relaksasi dan aktifitas terapeutik sesuai indikasi dan
situasi individu.
·
Tampak rileks.
- Fungsi seksual dapat dipertahankan.
Kriteria hasil :
·
Menyatakan pemahaman
situasi individual,
·
Menunjukkan keterampilan
pemecahan masalah.
- Klien mengerti/memahami tentang penyakitnya.
Kriteria hasil :
·
Berpartisipasi dalam
program pengobatan.
·
Melakukan perubahan
prilaku yang perlu.
·
Melakukan dengan benar
prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA
1.Basuki B Purnomo, 2000, Dasar-Dasar Urologi,
Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD), Jakarta.
2.Doenges, Marilynn E, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan – Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Alih Bahasa : I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Editor : Monica Ester, Yasmin Asih, Edisi : Ketiga, EGC ; Jakarta,.
3.Guyton, Arthur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Editor, Irawati. S, Edisi : 9, EGC ; Jakarta.
4.Kumpulan Kuliah, 2001, Modul Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan, Makassar.
2.Doenges, Marilynn E, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan – Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Alih Bahasa : I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Editor : Monica Ester, Yasmin Asih, Edisi : Ketiga, EGC ; Jakarta,.
3.Guyton, Arthur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Editor, Irawati. S, Edisi : 9, EGC ; Jakarta.
4.Kumpulan Kuliah, 2001, Modul Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan, Makassar.
5.Long, Barbara C, 1996, Keperawatan Medikal Bedah; Suatu
Pendekatan Proses Keperawatan, Edisi I, Volume 3, Yayasan IAPK Padjajaran,
Bandung.
6.Schwartz, dkk, 2000, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires dkk, EGC ; Jakarta.
7.Jong, Wim de, dan Syamsuhidayat R, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Editor : R. Syamsuhidajat, Wim De Jong, Edisi revisi : EGC ; Jakarta.
6.Schwartz, dkk, 2000, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires dkk, EGC ; Jakarta.
7.Jong, Wim de, dan Syamsuhidayat R, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Editor : R. Syamsuhidajat, Wim De Jong, Edisi revisi : EGC ; Jakarta.